05. Sebuah Perbincangan Tengah Malam - #Annalisa

861 142 21
                                    

**

ANNALISA POV

Aku masih tidak mau percaya pada apa yang terjadi semalam. Aku hanya tidur selama lima jam, sehingga saat ini aku sudah bangkit dari ranjang. Berbeda dengan partner-ku yang masih terlelap, terbang jauh ke dimensi lain. Aku lihat wajah polosnya, kemudian tersenyum tipis. Aku berbagi ranjang dengannya semalam.

Semuanya tampak seperti mimpi, karena terlalu indah.

Aku benar-benar bisa terlelap tanpa pil tidur. Wah, apa aku boleh memeluknya?

Tak ingin mengganggunya, aku pun berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Lalu, aku segera menyusul ke dapur karena ada suara bising dari sana. Ternyata Kak Rasi dan Hazen sedang berbagi kompor. Keduanya sama-sama memasak apa yang yang ingin mereka makan.

"Masak apa tuh?" tanyaku, sembari memeluk Hazen dari samping dan menghujaninya dengan kecupan di pipi. "Adikku yang tampan sejagat raya. Nanti aku minta nasi gorengnya, ya?"

Hazen mengangguk, tanpa banyak perlawanan. "Lha, ini memang sengaja aku masak buat kalian."

"Hm? Kalian?"

"Kamu sama pacarmu, Teh."

Aku termenung sejenak, kemudian tertawa renyah. "Oalah, iya. Pacarku kan tidur di sini. Kok, enggak ada yang gerebek semalam, ya? Apakah sudah tidak peduli, hm?" tanyaku, sengaja ingin menyindir Kak Rasi.

Kak Rasi melirik sekilas, tapi tidak bicara apa-apa.

Selesai dengan Hazen, aku pun beralih ke sisi Kak Rasi. Dia sedang menggoreng ikan bandeng, dan masih sempat-sempatnya menarik lenganku. Dia memelukku selama beberapa detik, sebelum menjatuhkan kecupan cukup lama di pelipis kananku.

"Niatnya pengin seret dia dari kamarmu, tapi kalian berdua kelihatan capek. Tidurnya juga nyenyak banget," komentar Kak Rasi, setelah mengecup pelipisku.

Aku tersenyum tipis. "Aku enggak minum pil tidur, lho."

"Masa?"

"Iyaaa!" sahutku, penuh semangat. "Jaennarendra usap-usap punggungku sampai aku tidur. Ternyata ampuh banget, Kak."

"Kalau gitu, nanti biar kuusap-usap punggungmu."

Hazen menyahut, "Itu tuh bukan masalah diusap-usap punggungnya, tapi tangan siapa yang usap-usap. Kalau tangan Kak Rasi mah enggak bakal ngaruh, karena enggak ada cinta."

Kak Rasi mendelik. "Aku punya cinta buat Nana."

"Bukan cinta yang kayak gitu, Kak. Bukan cinta antar saudara."

Kak Rasi diam sejenak, lalu mengangguk paham. "Oh."

Aku melihat mereka bergantian, kemudian bergelayut di lengan Kak Rasi yang tidak memegang spatula. "Ini buat sarapan juga, Kak?"

"Bukan, ini nanti buat lauknya Tara," sahutnya, sambil membalik ikan di atas wajan. "Tara katanya ada syuting ke Lamongan, jadi aku bawakan bekal."

Waktunya pas sekali, karena yang dibicarakan menuruni tangga. Kak Tara sudah siap dengan kemeja hitam yang dimasukan ke dalam celana bahan dengan warna senada. Di bahu kokohnya tersampir totebag warna kuning bergambar nanas. Seperti rumah kartun favoritku.

Omong-omong, kartun itu membuka pikiranku. Sebelumnya, saat aku belum tahu apa itu pahit dunia, aku merasa ada yang salah dengan sikap si gurita. Namun, setelah dewasa dan mulai paham betapa tidak adilnya dunia ini, aku... rasanya ingin berteman dengan gurita itu. Terkadang, dalam hidup, kita hanya menginginkan ketenangan. Kita ingin bahagia dengan diri kita sendiri. Sayang sekali, ketenangannya harus diganggu oleh pemilik rumah nanas. Dan, melihat kembali mimpi-mimpi si gurita yang begitu indah, aku juga bisa paham. Saat kita tumbuh dewasa, kita punya banyak mimpi yang ingin kita kejar. Kita menjadi lebih keras dengan diri sendiri. Di tambah dengan stigma masyarakat; usia 23 sudah harus wisuda, usia 25 sudah harus membawa calon suami-istri ke orang tua, usia 30 sudah harus menggandeng dua anak yang lucu.

JAENNA: HERO OF THE YEAROnde histórias criam vida. Descubra agora