10. Sentimental - #Annalisa

344 61 9
                                    

**
out on your corner in the pourin' rain
look for the girl with the broken smile
ask her if she wants to stay awhile
and she will be loved, and she will be loved
She Will Be Loved, Maroon 5.

**

ANNALISA POV

Tidak perlu diragukan lagi, aku harus mencarinya di tempat yang tepat.

Dengan sedikit gugup, aku berjalan menuju ruang inap itu. Aku sudah memberi kabar kepada Bapak Kasih kalau aku akan datang menjenguk. Tentu, aku tak bisa mengatakan apa yang kucari. Lewat pesan singkat, Bapak Kasih memberitahuku bahwa beliau ada urusan jadi tidak bisa menyambutku, namun beliau sudah mengirimkan nomor ruang inap Ibu Lintang.

Sebelum masuk ke dalam, aku menghela napas panjang.

Ya, jangan ragu-ragu. Tidak perlu takut. Aku mencari kebenaran.

Ibu Lintang menunjuk kepalaku. "Kepalamu udah baik-baik aja, kan?"

Jujur, aku baru saja masuk ke dalam ruangan ini dan berbasi-basi. Aku tidak langsung menanyakan kepentinganku karena menurutku akan kurang sopan. Aku ingin membangun suasana yang kondusif sebelum mengangkat topik serius, tetapi pertanyaan Ibu Lintang justru berhasil membuatku kebingungan sendiri.

Aku mengerutkan kening, lalu mengangguk-anggukan kepala. "Ya, kepala saya baik-baik aja. Memangnya kenapa, Bu?"

Tangan beliau terulur, lalu Ibu Lintang mengelus puncak kepalaku. "Kamu masih aja baik, padahal aku hampir membunuhmu, Na."

Jelas, saraf di otakku langsung bereaksi. Apa maksudnya? Kenapa ibu mencoba untuk membunuhku? Kapan itu terjadi? Aku tidak bisa menemukan memori itu di dalam kepalaku. Sungguh, aku justru yang dibuat pusing sendiri.

"Hari itu, saat aku memaki-makimu di depan ruang ICU," tambah ibu, sepertinya tak sadar bahwa aku memasang ekspresi kebingungan. Ibu melanjutkan cerita, "Kamu masih ingat hari itu, kan, Na? Bukannya aku hampir membunuh kamu? Saat itu, aku masih sangat pengecut dan takut untuk minta maaf... Tapi, aku benar-benar menyesal udah menusukmu berulang-ulang kali dengan ucapan yang keluar dari mulutku."

Aah, hari itu.

Mungkin ibu menggunakan bahasa hiperbola untuk mengungkapkannya. Ya, hari itu mirip seperti dibunuh. Aku seperti ingin mati, karena frustasi dilarang menjenguk kekasihku sendiri. Aku bahkan bersimpuh di kaki ibu kala itu, memohon seperti manusia rendahan.

Aku pun mengangguk lagi. "Ya, anggaplah saya hampir mati hari itu. Rasanya persis seperti ditusuk ribuan duri. Tapi, Ibu enggak membunuh. Saya masih hidup sampai hari ini, kan? Saya masih duduk di hadapan Ibu."

Ibu Lintang memandangiku dengan sorot yang tidak kumengerti, lalu beliau berhenti mengusap-usap kepalaku. Dari sorot itu, aku tahu bahwa sesuatu tidak berjalan dengan semestinya. Karena, perlahan-lahan, tangis ibu Lintang mengisi ruang inap ini.

"Kamu... terlalu baik, ngomong bahwa aku enggak membunuh kamu, padahal hari itu aku dengar kalau... kamu kehilangan banyak darah, Na. Seluruh rumah sakit heboh, ketika menemukanmu tidak sadarkan diri di atap. Katanya, kepalamu terbentur lantai semen dengan keras. Dan, aku dengar dari salah satu perawat, kamu... berniat bunuh diri. Aku pernah minta rekaman CCTV-nya dari perawat itu, dan... ya, kamu hampir melempar tubuhmu dari lantai dua puluh rumah sakit ini. Apa itu bisa dianggap hal sepele? Aku hampir membunuh kamu."

Aku tidak mengerti apa pun. Rumah sakit ini? Atap? CCTV? Kehebohan? Lantai semen? Kehilangan banyak darah? Kepalaku?

Perlahan-lahan, aku mengusap kepalaku sendiri. Apa yang kulupakan?

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now