10. Sentimental - #Annalisa

295 61 12
                                    

**

ANNALISA POV

"Hah, jadi lo pernah hampir lompat dari atap rumah sakit?!"

Kedua netra Kak Deka membulat, sembari dia melanjutkan aktivitas mewarnainya.

Aku mengangguk lemah. "Ya, tapi gue enggak ingat itu."

Kak Jeral geleng-geleng kepala, seperti tak percaya. "Wah, lo beneran harus dijaga 24 jam, Mbak Anna. Gue jadi khawatir, seandainya enggak ada yang lihat pas lo naik ke atap, apa yang bakal terjadi? Gue enggak berani membayangkannya."

"Ya, gue bakal gentayangan jadi arwah di rumah sakit itu," jawabku, enteng.

Jaennarendra menatapku dengan ekor matanya. Lalu, suaranya terdengar dingin, "Lo jangan ngomong sembarangan, Na. Gue enggak suka itu."

"Enggak suka kenapa?" tanyaku, mencari jawaban. Lalu, aku melanjutkan melukis langit senja di kanvasku. Kami berempat sedang berada di Sanggar WARNA-WARNI milik keluarga Kak Jeral. Tadinya ada Joy, Kak Jeha, dan Kak Esa yang bergabung. Namun, dua perempuan itu pamit mau ke salon karena sudah ada janji, sedangkan Kak Esa tentu saja mau melanjutkan pekerjaannya mencari bukti-bukti kehidupan Kak Jinan. Aku menghela napas, lalu beralih mengambil kuas untuk mewarnai. Aku butuh warna oranye. "Kenapa lo jadi diam aja, sih, Jae? Jawab dulu pertanyaan gue! Kenapa lo enggak suka?"

Jae meletakan kuas di tangannya. Dia melukis langit malam yang bertabur bintang. Lalu, "Gue enggak suka sama kalimat yang lo gunakan, kesannya... kayak... lo pergi. Gue enggak suka itu, ketika gue harus kehilangan lo."

"Wow, romantis sekaliii," goda Kak Jeral, dengan hebohnya.

Kak Deka nyengir kuda. "Jaennarendra yang selalu berhasil menaklukan wanita telah beraksi, Kawan-kawan. Lo harus siap-siap, Na!"

"Apa?" tanyaku, tak terlalu tertarik. "Siap-siap jatuh cinta sama dia? Udah, kok."

Jawabanku sepertinya membuat suasana menjadi hening. Dengan ekspresi kalem, aku menatap ketiga lelaki di ruangan ini bergantian? Kak Jeral membuka mulutnya membentuk huruf 'O' lebar, Kak Deka menghentikan tangannya yang tengah membuat coretan-coretan abstrak, sedangkan Jaennarendra hanya membeku sejenak dan langsung menyentil dahiku sampai aku meng-aduh.

"Kenapa, sih?" tanyaku, sebal. Aku mengusap-usap dahi. "Sakit!"

"Jaga omongan lo!" sahut Jae, sembari membulatkan mata. "Lo yang bilang kalau lo belum yakin sama perasaan lo, kan? Kata lo, perasaan lo belum besar."

"Memang belum besar, tapi kan ada di sini—" Aku menunjuk hatiku sendiri dengan tampang serius, lalu melanjutkan, "Meskipun perasaan itu belum besar, tapi gue yakin, kalau gue jatuh cinta sama lo! Hanya karena perasaan itu belum besar, bukan berarti itu enggak ada, kan? Lo memang enggak bisa mengukur bentuknya, tapi rasa itu hidup di dalam sana. Gue yang merasakannya, karena rasa itu kan punya gue. Seperti yang gue bilang, lo urus aja perasaan lo karena gue akan urus perasaan gue sendiri. Paham, Tuan Muda?"

Memangnya aku salah bicara, ya? Aku jadi kesal sendiri, karena Jaennarendra seperti tidak menyukai pengakuanku. Oh, apa dia tidak menyukaiku, ya? Sepertinya benar, dia kan jago memberi harapan palsu. Apa dia juga berniat mempermainkanku? Dengan tampangnya itu, aku semestinya tidak cukup bodoh untuk jatuh cinta padanya.

"Okay!" Aku bangun dari kursi dan meninggalkan lukisanku yang belum selesai. "Lo enggak suka sama perasaan gue, kan? Ya, udah! Akan gue hapus perasaan ini. Gue enggak jadi suka sama lo!"

Jaennarendra ikut berdiri. "Mana bisa kayak gitu, hah?"

"Kenapa enggak bisa? Semuanya possible buat gue!" jawabku, angkuh.

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now