08. Stigma, Samar, Mantra-Mantra - #Jaennarendra

398 66 5
                                    

**

JAENNARENDRA POV

Apa arti sahabat? Kalian tahu?

Gue mungkin enggak sepenuhnya tahu kalau ditanya apa arti dari sahabat. Gue hanya mencoba menjalaninya dengan baik, memberikan dukungan dan kasih sayang secara adil dan utuh kepada semua sahabat gue; Jeraldine, Bima, Deka, dan Mahesa. Gue pun enggak tahu kapan semua ini dimulai, kapan gue menganggap mereka lebih mirip sebagai keluarga.

Semua hanya berawal dari niat nekat menciptakan band sendiri. Semua hanya berawal dari keberanian naik gunung dengan pengetahuan amatir. Semua hanya berawal dari tawa dan cerita yang satu selera. Lalu, hal-hal itu bergerak maju mengikuti waktu. Perlahan-lahan, gue semakin nyaman bersama mereka. Rasanya ada yang kurang kalau gue enggak mendengar ocehan Deka dan Bima, menghadapi mood Jeral yang naik-turun, atau mencoba menghargai kesukaan Mahesa terhadap misteri dan teka-teki.

Saat ini, kalau ditanya: Apa arti sahabat?

Gue punya satu jawaban: Gue enggak bisa kehilangan mereka, dan melaju sendirian.

"Hei."

Lengan gue disenggol pelan oleh seorang gadis yang menyerupai peri malam ini.

"Kenapa lo melamun?" tanyanya.

Gue menoleh sejenak untuk memberinya satu lengkungan manis, bernama senyuman. Lalu, gue menjawab pertanyaannya, "Happy aja, Na, bisa lihat Bima mencapai satu titik baru dalam hidupnya; pertunangan. Gue enggak pernah menyangka kalau dia berani mengambil langkah besar ini. Bagi gue, dia tuh melaju terlalu cepat. Tapi, bagi dia, ini pasti waktu yang tepat. Yah, tiap manusia kan punya waktunya sendiri. Gue... bahagia bisa lihat dia percaya sama Lulu. Gadis dari kelas sebelah pas zaman SMA, yang kini dia ajak membangun rumah-tangga bersama. Wah, apa gue ngomong kayak papanya Bimasena?"

"Sound so old, Jaennarendra," sahut Annalisa, kemudian dia terkekeh kecil. "Mereka baru tunangan, belum menikah."

"Tapi, dia benar-benar naik satu anak tangga, Na."

Annalisa mengangguk. Lalu, dia menepuk bahu gue. "Dia berani, jadi lo seharusnya ikut bangga. Dia bahagia, jadi lo seharusnya ikut bahagia. Kak Bima... mungkin nantinya akan lebih fokus sama keluarga kecilnya—setelah dia menikah dengan Kak Lulu, jadi lo seharusnya enggak mengusik dia dengan segala macam asumsi buruk. Wajar, kalau dia nanti melangkah sedikit keluar dari circle kalian. Dia punya tanggung-jawab baru, jadi seorang suami teladan bagi Kak Lulu, Jae. Perannya bertambah, jadi daripada menghakimi dia karena nanti bakal jarang ikut nongkrong, gue lebih menyarankan lo untuk memberinya dukungan dan apresiasi. Peran barunya nanti enggak semudah itu, Jae. Dia berjanji menanggung hidup seorang anak perempuan berharga bagi ayahnya, dan keluarganya. Ibaratnya, Kak Bima tuh kayak berhadapan dalam sebuah pertandingan tinju bersama ayahnya Kak Lulu. Apalagi, Kak Lulu adalah anak tunggal, perempuan pula."

"Apa... kalau kita... kayak ramalan di buku sampul kuning itu..." Gue bingung harus melanjutkan ucapan dengan kata-kata yang tepat, jadi gue diam sejenak untuk merangkai kata yang bisa dipahami oleh Annalisa. Wait, dia kan jenius. Dia pasti paham maksud gue, kan?

Gue menoleh sekilas dengan hati-hati, dan gue menemukan Annalisa menatap gue.

"Kalau kita berakhir menikah kayak ramalan itu, lo... berasumsi lo juga bakal kayak Kak Bima gitu? Soalnya walaupun gue bukan anak tunggal, tapi gue anak perempuan satu-satunya di rumah dan punya tiga saudara laki-laki. Walaupun Ayah sibuk dan fokus dengan pencapaiannya di Aussie sana, bukan berarti Ayah akan melepaskan gue dengan mudah, Jae. Once again, gue ini anak perempuan satu-satunya di keluarga Hakiim Husen... So, asumsi lo kemungkinan benar; lo dalam bahaya. Lebih parahnya, lo tanding tinju satu lawan empat."

JAENNA: HERO OF THE YEARHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin