10. Sentimental - #Jaennarendra

349 64 17
                                    

**

JAENNARENDRA POV

Gue sebenarnya bingung setelah menerima telepon dari Annalisa. Gadis itu bilang mau datang ke rumah gue, tanpa ada alasan yang jelas. Tentu, gue menerka-nerka banyak hal. Apa gue membuat kesalahan, atau dia sedang dalam keadaan buruk? Apa dia kembali sesak napas, kemudian mengalami kesedihan yang ekstrem? Diam-diam, gue sebenarnya belajar tentang bipolar. Gue meminjam banyak buku di ruang kerja papa. Bahkan, hampir tiap hari, gue memiliki waktu konsultasi dengan papa untuk lebih tahu dan lebih memahami kondisi Annalisa. Bagaimanapun, ketiga saudara laki-lakinya memberi gue kepercayaan.

Tanpa status pun, gue ingin melindunginya. Seutuhnya.

Bipolar adalah gangguan psikologis di mana seseorang mengalami perubahan suasana hati secara ekstrem, yang semula dari tertekan menjadi manik, atau bahkan sebaliknya dari kondisi manik menjadi tertekan. Faktor yang menyebabkan seseorang terdiagnosa gangguan bipolar adalah mengalami stres berat, kejadian traumatik, kecanduan alkohol atau obat-obatan terlarang, dan gen atau diturunkan oleh keluarga terdekat yang mungkin juga mengindap hal yang sama.

Gue cukup terkejut, rupanya bipolar bisa diturunkan dari keluarga.

Gejala yang biasanya dialami oleh pengidap bipolar dibagi menjadi dua, yaitu fase mania (naik) dan depresi (turun). Dari pengamatan gue terhadap Annalisa, ketika perempuan itu mengalami fase manik, dia akan menjadi sangat bersemangat, ambisius, merasa jadi pusat dunia, dan enerjik. Lalu, di fase depresi, seperti yang kalian tahu, Annalisa menjadi sedih, murung, dan hilang minat untuk beraktivitas, dan merasa dunianya berhenti begitu saja.

Setelah mempelajari lebih jauh, gue juga baru tahu kalau ternyata gangguan bipolar memiliki satu fase lagi, yaitu fase normal di mana pengidapnya memiliki suasana hati yang normal. Tidak ada depresi, tidak ada mania. Dia berada di tengah-tengahnya.

"Sebentar lagi juga pulang, Na."

Suara mama dari arah dapur. Mama tidak sendiri, melainkan bersama Annalisa. Gue yang semula merapikan kamar—karena siapa tahu Annalisa mau mampir, segera menyusul ke dapur. Berkat kehadiran Annalisa, mama jadi memasak banyak hidangan. Gue terpukau ketika melihat meja makan. Rendang, ayam goreng krispi, nasi merah yang masih hangat, dan juga sop buah di dalam baskom ukuran besar. Bisa digunakan untuk cuci muka saking banyaknya.

"Kita mau ada acara lamaran apa gimana, sih?" canda gue, kemudian memeluk mama yang tengah merapikan alat makan di atas meja. Lalu, gue mengecup pipi kanan mama dan nyengir. "Makanannya banyak banget, aku curiga kalau kita harus telepon orang tuanya Nana sekalian. Tinggal atur tanggal aja, nih. Pakai adat Jawa apa Sunda, ya? Apa modern aja?"

Mama terkekeh renyah. "Tanya sama Mbah Kakungmu dulu sana! Suruh hitung dulu wetonnya, cocok apa enggak."

"Aah, weton," respon gue langsung pura-pura sedih. "Enggak usah pakai weton, lah. Zaman sekarang udah enggak berguna yang kayak gitu, Ma. Yang penting kedua mempelai saling cinta dan siap hidup berdua sampai akhir hayat."

Mama menyiku perut gue pelan. "Ya, kamu tanya dulu sama Nana dong! Geer banget, belum tentu Nana mau hidup sampai akhir hayat sama kamu. Kan, kamu suka nyebelin."

Gue segera meninggalkan mama dan melangkah mendekati Nana. "Gimana, Na?"

Annalisa melirik dari arah wastafel. Dia sedang mencuci gelas-gelas berbentuk oval yang sepertinya akan digunakan untuk menikmati sop buah. Dengan jelas, gue melihat sorot tajam dari sana. Lalu, dia berkata pelan, "Go away."

Gue hanya terkekeh, puas menggodanya.

Tak lama kemudian, terdengar suara mobil memasuki garasi. Lalu, laki-laki tua yang awet muda muncul dalam balutan kemeja ungu tua. Jubah putih kebanggannya menggantung di bahu kiri. Tak lupa, tas tangan hitam seperti para pegawai kebanyakan.

JAENNA: HERO OF THE YEARWhere stories live. Discover now