Epilog; Zidan

1.6K 344 49
                                    

"Ketika waktu merenggut raga, akankah kenangan yang tersisa jadi landasan asa di masa mendatang?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ketika waktu merenggut raga, akankah kenangan yang tersisa jadi landasan asa di masa mendatang?"



Katanya, manusia itu gak boleh banyak beranda-andai. Sebab nanti akan ada saatnya diri lo akan dibutakan oleh pemikiran yang berupa harapan palsu semata. Yang aslinya tuh susah banget untuk lo dapat atau lo gapai di dunia nyata.

Katanya lagi, manusia gak boleh berharap pada manusia lain karena hal itu akan berujung buruk, sebab manusia bukan tempat yang tepat untuk menyandarkan asa.

Tapi... nyatanya gue udah telanjur memulai fase berandai-andai tersebut sejak bunga matahari gue tiba-tiba layu lalu mati. Meninggalkan gue dengan setumpuk memori yang susah untuk dihapus meskipun gue ingin. Lalu membiarkan gue sendirian menapaki terjalnya bukit gersang tanpa dibantu uluran tangannya yang dulu selalu gue nanti.

Jujur, gue sangat benci dengan apa yang dilakukan Mario sejak kepulangan Nadira hanya karena hobinya Mario yang suka terobsesi dengan karya seorang Van Gogh, di mana warna andalan yang tertuang di setiap lukisannya berwarna kuning dan beberapa di antaranya berbentuk bunga matahari. Gue sadar betul kalau apa yang gue lakukan sangat gak masuk akal dan kalaupun ada alasannya, pasti juga gak rasional. Hanya karena Nadira yang suka banget sama warna kuning, membuat gue kadang lupa kalau definisi kuning sendiri itu bukan cuman tentang dia doang. Gue kadang lupa kalau dunia itu luas, pusat semesta gue bukan hanya tentang Nadira aja.

Selepas kepergian Nadira juga, gue melakukan hal ekstrem sampai-sampai gue menjual alat musik gue yang sebelumnya mengisi ruangan kamar. Alhasil sekarang kamar jadi lebih luas, tapi entah kenapa di saat yang bersamaan juga terasa lebih sesak karena kehadiran puluhan botol soda kosong dan buku-buku kuliah yang bertebaran di mana-mana. Jaket yang belum gue cuci tergantung di kapstok bersamaan dengan handuk dan pakaian lainnya. Belum lagi debu tipis yang hinggap di atas meja dan kusen jendela.

Selamat, Zidan! Lo sekarang jadi laki-laki jorok yang nyaris gak punya ketertarikan untuk melakukan hal yang dulu sangat lo sukai. Sekarang lo jadi pribadi yang sangat apatis sama hal-hal yang dulunya lo tekuni.

Sampai pada suatu titik, kamar gue berhasil kena intip oleh Haikal yang tiba-tiba kesurupan sesuatu mau bersih-bersih koridor di jam sepuluh malam. Posisi gue baru selesai nugas, yang... sejujurnya gue gak tahu apa ini bisa disebut dengan mengerjakan tugas khas anak semester tua atau hanya lari dari sakit yang gak kunjung hilang. Muka Haikal tiba-tiba nongol di sebelah kepala gue dan dengan rasa penasarannya yang selalu ingin tahu penghuni lain lagi ngapain.

"Mau bikin kerajinan tangan buat gorden pakek botol bekas? Atau mau bikin taman buatan mini pakek pot plastik dari sampah? "

Julid banget. Heran gue.

"Diem lo," sentak gue sembari setengah nyolot. Soalnya kalau sama Haikal, nada bicara lo gak akan pernah woles. Gue justru kembali menutup pintu karena gue gak mau Haikal lihat isi kamar gue lebih lanjut. "Ngintip tuh ngintip kamar Mayang, jangan kamar gue."

ANDROMEDAWhere stories live. Discover now