[Zidan] Dua Puluh November - 03

3.4K 736 304
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




"Ninu-ninu! Penting nih gan, kabar baru. Hari ini pas gue jogging gue lihat Zidan pergi ke stasiun sendirian, tapi gak bawa apa-apa selain tubuh sama niat buat jalan ke sana."

Pukul sembilan pagi itu, Juna sudah berisik di dapur kontrakan sambil menenteng beberapa kotak nasi yang dibawanya dari warung langganan. Keadaan di sana sedang tidak kondusif mengingat dua hari terakhir lagi panik-paniknya semua penghuni dihadapkan dengan masalah beruntun. Mulai dari kejadian sensitif yang gak diduga, hujan disertai petir dan mati lampu karena kabelnya ada yang putus terkena tindihan pohon yang tumbang, sampai Pak Bima yang uring-uringan nyari anaknya yang belum pulang sampai sore tanpa pamitan. Mereka sampai seringkali lupa waktu makan dan tiap malamnya stok mi instan langsung dibabat habis-habisan, tentunya dengan berebutan pula.

Hanya ada Jovi di dapur kala itu, duduk tercenung mengaduk bubuk kopi yang gak terseduh. Gasnya lagi habis jadi kompor juga gak bisa nyala. Kepalanya pusing meskipun kalender sudah mau menuju tanggal gajian, kemarin juga sudah bertemu dengan Fara si apoteker pujaan, ditambah lagi hari ini hari liburan. Hanya saja memang badannya sedikit pegal lantaran begadang bersama Aksa dan Joshua di ruang utama. Berjaga-jaga kalau Zidan yang kondisinya lagi gak baik-baik aja tetap dalam pikiran yang waras dan gak melakukan hal gila tiba-tiba.

"Haduh, makin pening kepala gue denger kabar begitu." Ada umpatan tertahan sebelum Jovi memijat keningnya kasar. "Ditambah lo juga kenapa malah berdiri di sini?"

"Karena gue beli nasi tiga belas bungkus macem takjilan, njir. Berat lah bego."

"Zidan?"

Juna menempatkan nasi di meja dan bergegas membuka hoodie penuh keringat yang dia kenakan. "Gue rasa akan lebih baik kalau gue biarin dia sendiri. Selain perilakunya yang mencerminkan kalau dia lagi galau, he's okay," tukasnya lalu duduk di kursi seberang. Juna butuh waktu untuk memproses apa tindakan Jovi selanjutnya karena pemuda itu tiba-tiba berdiri dan hendak berlalu. Bahkan cuci muka di tempat cucian piring tanpa sabun pembersih muka terlebih dahulu. "Lo mau ke mana, Bang? Bangunin anak-anak?"

"Mau pastiin sesuatu."

"Sesuatu?"

"Yakin lo kalau Zidan gak ngapa-ngapain?"

Juna terkesiap. "Sorry to say, tapi ini Zidan, bukan Dika yang memang punya kepekaan lebih sama hal-hal yang sensitif. Jadiㅡ"

"Big no, Juna. Lo salah kalau bedain antara Zidan dan Dika dengan cara kayak gitu."

"Gue anggap Zidan orang yang realis, Bang. Jadi gue berasumsi kalau dia bakalan baik-baik aja, bahkan tahun lalu dia ikut kampanye besar-besaran di kampus soal suicide thoughts dan menentang keras upaya percobaan bunuh diri yang belakangan marak terjadi di pinggiran kota."

"Hanya karena itu lo yakin Zidan gak bakalan bertindak apa-apa?"

"Pikir dulu, Bang, mana ada orang mau bundir di keramaian? Ini masih pagi, ada ratusan orang keluar masuk area stasiun dan kereta jam segini juga lagi padat-padatnya."

ANDROMEDAWhere stories live. Discover now