18. Tuhan Memberi Kesempatan

1.5K 267 0
                                    

Ketika langkah kakinya sampai di pintu kamar adik tirinya, tubuhnya membeku seketika. Kamar itu kosong. Tidak ada tubuh Reynar yang terbaring di atasnya, masker oksigen yang membantu pernapasan Reynar pun sudah tak ada, bahkan layar Elektrokardiogram itu mati. Hanya ada dua suster yang tengah merapikan ranjang Reynar.

Dengan rasa panik dan kegelisahan yang melanda, rasa takut tidak akan melihat adik tirinya membuat Eldo segera membuka pintu dengan tergesa menghampiri suster.

"Suster di mana adik saya?"

"Maksud anda pasien yang berada di ruangan ini?"

Eldo menggangguk, "Iya, dia di mana sekarang? Mengapa ruangan ini kosong?"

"Sepertinya adik anda--"

"Eldo," Ucapan suster terpotong ketika seseorang memanggil namanya. Eldo segera menoleh, mendapati ayah tirinya berdiri di depan pintu lantas menghampirinya.

"Yah, Rey di mana? Kenapa ruangannya kosong."

Ada senyum yang terpatri di bibir ayahnya, namun Eldo melihat mata yang memerah dan bengkak di kedua mata yang tak setegas dulu, ada kelahiran di dalamnya. Ada rapuh yang coba tersimpan namun masih terlihat.

"Yah, jawab. Rey ... dia tidak...,"

Suaranya tercekat. Eldo bahkan tak bisa mengutarakan satu kalimat yang dia pikirkan. Dia belum siap kehilangan karena ada satu permintaan Nara yang belum Eldo penuhi, dan ada maaf yang belum dia utarakan.  Ada rasa bersalah yang mulai menjalar di hatinya, ada rasa sesak di dada membuat matanya terasa panas.

Tuhan, tolong jangan ambil Reynar.

Doanya begitu memohon pada sang maha kuasa. Kepada penyusun dari segala rencana takdir, kepada sang pencipta dari semua makhluk.

Nara, tolong bilang pada Tuhan untuk tidak mengambil Reynar.

Begitu banyak pemikiran yang buruk dalam otaknya, begitu banyak ketakutan yang mulai ia rasakan.

Dulu, setahun atau dua tahun lalu dirinya mungkin akan sangat senang jika Reynar tidak ada karena dia bisa bersama dengan Nara tanah ada pengganggu. Tanpa ada seseorang yang menggantikan dirinya sebagai prioritas utama Nara. Tanpa ada seseorang yang selalu menjadi alasan Nara untuk pergi darinya. Tanpa ada ucapan; "Gue harus pergi, Reynar butuh gue." Yang selalu Nara ucapkan kepadanya.

Mungkin ia akan sangat senang. Tapi itu dulu. Dulu ketika Eldo belum bertemu Reynar, dulu ketika Eldo belum melihat bagaimana rapuhnya Reynar, dulu sebelum Eldo melihat banyaknya luka di mata Reynar, dan dulu sebelum Eldo berdamai dengan dirinya untuk memaafkan Reynar dan menyakini bahwa kepergian Nara adalah takdir.

"Yah, jawab."

Ketika kedua kelopak mata itu berkedip, satu tetes kristal bening mulai mengaliri pipinya. Hingga ketika sebuah dekapan yang begitu hangat Eldo rasakan, sesak di dadanya semakin terasa, air matanya terus mengalir meski tanpa isakan, tubunnya mulai bergetar.

"Bocah bodoh itu tidak pergi kan, Yah? Tolong bilang sama El, bocah itu tidak menyerah."

Chandra masih bungkam, hanya terus mendekap tubuh anaknya.

"Tolong bilang, Yah."

Kali ini, perkataanya mulai melirih, isakannya mulai terdengar. Ada rasa malu yang Eldo rasakan karena untuk pertama kalinya dirinya menangis dalam dekapan pria paruh baya yang merupakan ayah tirinya. Sudah lama sekali dirinya tidak menangis, seingatnya terakhir kali dia menangis adalah ketika ayahnya meninggal itupun saat usianya masih sembilan tahun, bahkan ketika Nara meninggal Eldo tidak menangis meski ia begitu merasa kehilangan hingga dadanya terasa begitu sesak.

REYNAR || Huang Renjun [END ✔️] Where stories live. Discover now