19. Mencoba Mendekat

1.5K 255 8
                                    

Sudah tiga hari Reynar berada di ruang rawat, namun hingga hari ini setelah pertemuan terakhirnya dengan Eldo, kakak tirinya itu tidak lagi datang. Reynar tidak peduli sebenarnya, namun di dalam sudut pikirannya selalu ada pertanyaan ke mana kakak tirinya?

Ayah bilang, Eldo menangis karena takut jika dia pergi dan menyerah, tapi ketika bertemu Eldo malah memukul kepalanya.

Reynar mendorong kursi rodanya di koridor rumah sakit, ia kabur dari kamar rawatnya karena mulai penat berada di ruangan yang sama selama tiga hari dengan bau obat-obatan yang menyengat. Ia ingin udara segar dan mungkin taman rumah sakit adalah yang terbaik dari pada kamarnya.

Ayahnya masih sibuk bekerja, sementara Bunda sepertinya masih berada di rumah, dan kesempatan ini tidak akan Reynar sia-siakan, bahkan jarum infus yang musik punggung tangannya ia cabut paksa menyisakan darah yang keluar mengotori punggung tangannya. Rasa perih yang terasa tak Reynar hiraukan, lagi pula dia sudah baik-baik saja meski tubuhnya masih lemas dan kepalanya masih sedikit pusing.

Koridor rumah sakit siang ini terasa sepi meski masih ada beberapa yang berlalu lalang, Reynar mencoba membelokkan kursi rodanya ke arah koridor sebelah kanan yang ia ketahui akan menuju taman rumah sakit, namun tepat beberapa meter darinya, ketika pandangannya menangkap sosok wanita paruh baya yang begitu dia kenal, tubuhnya membeku seketika.

"Mama," gumamnya begitu pelan. Senyuman itu terbit di kedua sudut bibirnya untuk beberapa detik sebelum perlahan mulai turun menciptakan garis bukan melengkung.

"Apakah kasih sayang yang Papa berikan masih belum cukup untukmu? Apa yang harus Papa lakukan agar Reynar melupakan Mama? Wanita itu hanya akan menorehkan luka kembali untukmu. Papa masih belum bisa menyembuhkan kamu, Rey, apakah Papa harus melihat wanita itu kembali menyakitimu dan membuat luka baru? Reynar tahu, melihat Reynar terluka itu menyakiti hati Papa karena memang tidak ada seorang ayah yang ingin anaknya terluka."

Reynar diingatkan kembali oleh ucapan ayahnya, lalu kalimat-kalimat yang menusuk relung hatinya, menikam dan menyakitinya begitu dalam dari setiap ucapan ibunya kembali singgah di kepala.

"Rey, rindu Mama."

Kedua bola matanya terlihat sendu kala melihat ibunya tengah merangkul bahu seorang remaja yang lebih tinggi darinya, memeluk dan mencium kepala remaja itu penuh sayang. Ada perban yang membalut lengan kiri remaja lelaki yang ia ketahui adalah teman sekelasnya. Juna.

Ada rasa iri yang membuncah di dada, ada sesak yang mulai terasa, dan ada tanya di kepala.

Mengapa kasih sayang ibunya bukan untuknya? Mengapa kasih sayang itu diberikan kepada orang lain bukan dirinya?

"Rey juga ingin dipeluk seperti Juna, Ma, tetapi mengapa begitu sulit untuk Rey mendapatkan pelukan Mama?"

Kedua tangannya mencengkram roda dengan kuat, sebelum memilih untuk memutar kursi rodanya. Taman rumah sakit bukan lagi tujuannya, mungkin memang benar dirinya seharusnya berada di kamar saja.

Rasa ingin menghampiri ibunya begitu kuat, namun kecewa tak ingin Reynar rasakan lagi. Sudah berulang kali hatinya dipatahkan oleh sosok yang ia panggil 'Mama', seringkali telinganya mendengar setiap kalimat yang menusuk hatinya, membuatnya selalu gelisah dalam tidurnya akibat mimpi buruk dan juga rasa bersalah yang selalu menghampiri.

Dan terakhir kali, ucapan ibunya membuatnya berpikiran bodoh dengan hampir membunuh dirinya sendiri hingga dia berakhir di rumah sakit ini.

"Bagus banget, ya, bikin orang khawatir tahunya malah berkeliaran."

Reynar mendongakkan kepalanya, pandangannya bertemu dengan bola mata kakak tirinya yang kini berjalan semakin mendekati, sebelum akhir kini berdiri tepat di hadapannya.

"Udah puas sekarang, huh?! Atau masih mau ngelanjutin acara kabur-kaburan lo?"

"Gue bosen," sahut Reynar pendek.

"Ya itu salah lo sendiri ngelakuin hal bodoh dan nggak berguna."

"Banyak bacot lo, ah. Udah lah sana pergi aja, males banget gue ketemu lo."

Reynar kembali mendorong kursi rodanya, melewati tubuh Eldo yang masih berdiri. Hingga kemudian kursi roda yang ia dorong kini tak seberat tadi, bahkan ketika tangannya tak bergerak memutar rodanya, kursi roda yang ia duduki tetap berjalan.

Ketika kepalanya menoleh ke belakang, tubuh kakak tirinya yang dia dapati tengah mendorong kursi rodanya.

"Kalau butuh bantuan bilang, jangan diam saja."

"Siapa juga yang butuh bantuan, gue bisa sendiri," elaknya seraya kembali menatap ke depan.

"Susah emang ngomong sama orang yang gengsinya digedein."

Sepanjang jalan tak ada suara yang ke luar dari mulut keduanya karena Reynar sendiri sibuk bergelut dengan pemikirannya memikirkan tentang ibunya, sementara Eldo yang sibuk dengan pemikirannya tentang banyak hal, terutama tentang adik tirinya.

Ada rasa syukur yang Eldo rasakan kala mendengar kembali suara Reynar, bagaimana bola mata penuh kekesalan itu menatapnya, dan bagaimana raut wajah Reynar yang selalu terlihat kesal namun terlihat lucu dan menggemaskan dan ia baru menyadari hal itu sekarang.

"Rey,"

"Hmm,"

"Boleh gue minta satu hal?"

Ada kening yang tercipta sejenak, Reynar mengerutkan dahinya berpikir apa yang ingin Eldo sampaikan.

"Apa?"

"Jangan mengulangi hal bodoh itu lagi."

"Hal bodoh apa, sih? Ga ngerti gue."

"Bunuh diri."

Dan dua kata yang keluar dari mulut Eldo secara cepat mampu membuat tubuh Reynar membeku.

"Kalau lo ngerasa lelah sama keadaan, ngerasa kalau masalah yang lo hadapi  berat banget dan ngerasa dunia begitu kejam sama lo. Lo harus inget, bukan cuma lo yang ngerasain itu semua, tetapi banyak juga orang-orang di luar sana yang ngerasain hal yang sama, yang mungkin masalah mereka lebih berat dari pada lo."

Eldo menghembuskan napasnya sejenak, sebelum kembali melanjutkan ketika Reynar tak bersuara.

"Dan perihal tentang kehilangan, bukan cuma lo aja yang ngerasain kehilangan. Semua orang akan merasakannya karena kematian itu sudah menjadi hukum alam. Semua makhluk akan mati. Lo nggak bisa menentang takdir yang sudah Tuhan gariskan."

"Lo nggak akan pernah paham," sahut Reynar setelah mendengarkan setiap kalimat yang Eldo ucapkan.

"Gue emang nggak akan pernah paham sama lo, Rey. Tapi tindakan bodoh lo itu menyalahi takdir yang sudah Tuhan gariskan."

"Lo terlalu banyak bicara tahu nggak, dan nggak usah ikut campur sama hidup gue. Lo bukan siapa-siapa jadi lo nggak berhak buat--"

"Gue kakak lo," ucao Eldo memotong perkataan Reynar. Kedua matanya terpejam sejenak, dan hembusan napas kembali dia keluarkan mencoba menahan rasa kesal yang sekarang mendominasi. "Jadi gue berhak ikut campur."

"Kakak?" Tanyanya disertai kekehan yang keluar dari mulut Reynar terdengar, terasa begitu hambar dan tak menggambarkan bahagia. Ada luka yang diam-diam tersimpan dan Eldo merasakannya.

"Bukannya lo benci sama gue karena menjadi penyebab Nara meninggal? Seharusnya lo seneng kalau gue beneran mati, Eldo."

Iya seharusnya.

Tapi Tuhan selalu memiliki rencana dalam merancang setiap episode kehidupan. Mampu membolak-balik hati setiap umatnya.


🌱🌱🌱

Bandung, 21 Juli 2021.

REYNAR || Huang Renjun [END ✔️] Where stories live. Discover now