24. Pemakaman

1.6K 257 0
                                    

Kematian. Satu kata itu selalu menakutkan untuk Reynar. Tak ada seorang pun yang tahu akan datangnya kematian mereka maupun orang lain, namun yang pasti setiap makhluk hidup akan menjemput kematiannya sebagai mana yang tertulis dalam catatan takdir Tuhan.

Reynar mungkin selalu menyalahi takdir Tuhan dengan mempercepat kematiannya sejak dulu dengan melakukan percobaan bunuh diri meski Tuhan selalu menggagalkan rencananya, namun Reynar tak akan pernah siap jika mendengar berita kematian dari orang-orang yang ia sayangi.

Ia tak pernah siap untuk kehilangan.

Dan pemakaman adalah salah satu tempat yang tak pernah ingin Reynar kunjungi meski kelak ada saatnya ia berbaring dalam di atas tanah sebagai tempat peristirahatan terakhirnya nanti. Namun untuk mengantar kematian seseorang tak pernah Reynar inginkan karena akan selalu membuat dadanya terasa sesak dan mata yang memerah perih.

Hari ini hujan turun meski tak begitu deras ketika tubuh kakeknya telah dikuburkan, untaian-untaian doa dari ustadz terdengar diantara suara hujan yang menyapa.

Reynar berdiri tepat di sebelah Eldo, sementara Ayah tepat berada di samping Bunda. Dapat Reynar lihat bagaimana wajah wanita itu begitu kacau dengan mata yang sembab karena menangis, bagaimana pun tak ada seorang anak yang ingin kehilangan orangtuanya.

Maaf.

Satu kata itu terucap dalam benak Reynar kala menatap punggung Bunda yang bergetar menahan tangis ketika doa-doa itu mulai dibacakan.

Ada rasa bersalah yang hadir karena dirinya yang masuk rumah sakit setelah percobaan bunuh diri membuat Bunda dan Ayah kembali ke Bandung dan tak jadi menemui Kakek, namun kemarin setelah ayah dan Bunda berangkat ke Garut, berita duka itu hadir. Kabar kematian kakek yang baru Bunda temuin hanya beberapa jam sebelum pria yang sudah lanjut usia itu menghembuskan napas terakhir.

Ada penyesalan yang singgah dalam diri, jika ia tak melakukan percobaan bunuh diri Bunda pasti menemani dan merawat kakek hingga sembuh bukan menemuinya di rumah sakit dan merawatnya.

"Jangan ngelamun, Rey, gue nggak mau lo kesambet."

Suara yang begitu pelan itu menyapa telinga, ia melirik pada sosok Eldo di sampingnya yang menunduk menatap gundukan tanah.

"Siapa juga yang ngelamun."

Setelah doa itu selesai dan ucapan bela sungkawa dari para kerabat dan tetangga yang terucap kini perlahan pemakaman itu mulai sepi menyisakan mereka berempat. Bunda tak bisa lagi untuk menahan tangisnya, wanita itu tak lagi mencoba tegar dan ayah memeluknya dalam dekapan hangat menenangkan. Tak meminta untuk Bunda menghentikan tangis, hanya diam memeluk meski kata-kata penenang itu terucap dari bibir.

Karena memang, ikhlas adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Meski mulut berucap ikhlas namun hati tak akan pernah bohong, butuh waktu yang lama untuk benar-benar mengikhlaskan kepergian seseorang.

Eldo berjongkok memeluk ibunya bersama ayah, meninggalkan dirinya yang masih berdiri memandang ketiganya. Sejujurnya ada keraguan yang hadir, ia ragu untuk masuk dalam dunia ketiganya dan merusak segalanya meski pintu itu begitu lebar untuknya namun ia masih begitu takut jika kakinya melangkah.

Masuk ke dalam keluarga barunya bersama Bunda dan Eldo meski ia sudah menerima hadir keduanya, namun masih belum bisa untuk menaruh kepercayaan dan harapan karena takut untuk kembali dipatahkan.

Dan sejujurnya dalam kepalanya berputar semua kejadian yang selalu menjadi luka untuknya. Kebencian ibunya, kematian kakaknya, kematian Nara, dan kini kematian Kakek.

Dan hujan selalu hadir dalam kehilangan yang ia rasakan, membuat kepalanya terasa pening dan dadanya yang mulai sesak. Tubuhnya mulai terhuyung ketika pandangannya hampir menggelap ketika rasa pusing di kepala ia rasakan, namun coba ia pertahanan. Ia tak ingin membuat mereka khawatir hanya karena masalah sepele.

REYNAR || Huang Renjun [END ✔️] Where stories live. Discover now