27. Tawa Penuh Luka

1.6K 266 1
                                    

Reynar terdiam di kamarnya dengan pandangan kosong setelah kembali sadar sementara kedua tangan Chandra kini tengah merengkuh tubuhnya. Badan Reynar terasa panas mungkin akan kembali terserang demam sementara luka di kaki dan juga tangannya sudah ia obati.

Chandra masih sangat terkejut ketika memasuki rumah bersama dengan Eldo melihat keadaan rumah yang berantakan juga sosok Reynar dalam pelukan Almira. Dalam keadaan tak sadarkan diri dan juga luka yang menghiasi tubuhnya.

Ia masih belum mengetahui kejadian yang sebenarnya karena Almira pun tak mengetahuinya. Chandra hanya akan menunggu hingga Reynar siap untuk mengatakan segalanya tentang kejadian hari ini, ia tak ingin memaksa Reynar karena anaknya pun masih belum baik-baik saja.

Sejak sadar dari pingsannya, Reynar hanya diam tak bersuara, pandangannya begitu kosong tak seceria biasanya.

"Papa tidak tahu apa yang kamu alami ketika kami semua pergi, Rey. Tetapi Papa mohon, jangan seperti ini. Kamu membuat Papa sedih."

Chandra menghela napasnya pelan ketika Reynar tak menjawab.

"Papa tidak akan memaksa kamu untuk mengatakan apa yang terjadi hari ini, Papa akan menunggu kamu hingga Rey siap menceritakan semuanya. Satu hal yang harus Rey tahu, Papa sayang dengan kamu dan Rey sangat berarti untuk Papa. Kamu adalah alasan Papa tetap bertahan, Reynar."

Lantas Reynar bertanya-tanya apakah jika ayahnya mengetahui bahwa dirinya bukanlah darah daging Papanya, apakah Papanya akan tetap menyayanginya seperti ini? Tidak ada ikatan darah di antara mereka dan sejujurnya Reynar takut. Takut bahwa Papanya akan berubah dan tak menyayanginya.

Bagaimana jika dia dibuang? Tak akan ada lagi tempat untuk dirinya pulang. Dia tak memiliki siapapun selain Papa, Bunda, dan Eldo.

Dirinya terlalu takut jika harus menghadapi dunia yang kejam sendirian.

Suara pintu yang terbuka membuat Chandra menoleh, ia tersenyum tipis kala mendapati istrinya yang datang sembari membawa nampan berisi semangkuk bubur dan juga segelas air mineral. Ada tanya yang terucap dari mulut Almira tentang keadaan Reynar meski tanpa suara, namun gelengan pelan dari suaminya membuat Almira menghembuskan napas pelan. Keadaan Reynar masih sama. Bungkam tanpa suara.

Wanita itu meletakkan nampan di atas nakas, kemudian mendudukkan dirinya di sisi ranjang Reynar, bibirnya tertarik membentuk senyuman tipis sementara kini tangannya terulur mengusap pelan kepala Reynar.

"Sayang, makan dulu ya. Bunda sudah membuatkan Reynar bubur."

Kini Almira meraih mangkok, mengaduk isinya agar tercampur rata. "Buka mulutnya, Sayang." Sendok berisi bubut itu sudah berada di depan mulut Reynar, namun kedua bibir itu masih terkunci rapat. Bahkan kepalanya menoleh ke samping sebagai bentuk penolakan.

"Reynar, makan dulu ya. Biar sakitnya tidak bertambah parah." Chandra membantu membujuk namun Reynar tetap saja diam.

"Sayang makan dulu ya, tiga suap saja tidak apa-apa yang penting perut kamu terisi."

Sekali lagi Reynar menolak.

Sementara itu Eldo melihat semuanya, bagaimana Reynar yang tetap diam dengan pemikirannya dan bagaimana dengan ibu dan ayah yang mencoba membujuk Reynar makan.

Eldo kini melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia menatap orangtuanya dan juga Reynar.

"Sebaiknya kalian istirahat dulu, Reynar biar Eldo yang mengurus."

"Tapi--"

"Percayakan saja semuanya pada El, Bund.

Mendengar itu Almira kembali berdiri di sisi kasur. Diikuti Chandra yangperlahan melepaskan pelukannya pada Reynar.

"Papa pergi dulu, jika terjadi sesuatu panggil saja ya."

Ketika kedua orangtuanya telah pergi tangannya mengalir mengambil mangkuk.

"Makan."

Nada ucapannya terdengar begitu tegas tak terbantah namun Reynar masih saja keras kepala untuk menutup mulut.

"Reynar, berhenti bersikap kekanak-kanakan," ucap Eldo pada akhirnya, "Lo nggak kasihan lihat ayah sana bunda? Mereka khawatir sama lo."

"Lo nggak tahu apapun, El."

Kalimat itu kini terucap dari bibir Reynar menyapa gendang telinganya

Napas Eldo kini memburu, "Gue emang nggak tahu apapun, karena itu kalau lo ada masalah lo cerita ke gue, Ayah, atau Bunda, bukan diam aja kayak gini."

Reynar kini menoleh menatap Eldo yang masiha berdiri di hadapannya, "apa yang harus gue ceritain? Sedangkan gue aja masih nggak paham dengan hidup gue."

Kini tawa itu Eldo dengar ke luar dari mulut Reynar, tawa keras namun bukan menyimpan banyaknya luka.

"Dan yang lebih lucunya lagi, Tuhan punya kejutan buat gue. Gimana kalau ternyata seseorang yang sangat berharga di hidup lo, kenyataanya dia bukanlah keluarga lo? Apa yang bakal Lo lakuin El?"

"Maksud lo?"

"Papa bukan keluarga gue." Sekali lagi Reynar tertawa, namun air mata itu telah menetes membanjiri pipi. "lucu banget kan?"

"Reynar, itu nggak mungkin."

"Darah papa nggak mengalir di tubuh gue."

"Jangan bercanda Reynar. Itu nggak lucu."

"Siapa yang bercanda? Gue nggak. Dia  udah bilang semuanya ke gue."

"Siapa? Siapa yang bilang sama lo tentang itu? Kasih tahu gue. Ini pasti salah Reynar, jangan pernah mempercayai orang asing."

"Asing? Orang asing lo bilang?"

Reynar beranjak dari ranjangnya, ia tepat berhadapan dengan Eldo, tangannya kini mencengkram kerah pakaian yang Eldo kenakan. Tatapan matanya menahan.

"Asal lo tahu seseorang yang lo bilang orang asing adalah ibu kandung gue. Dia yang bilang semuanya ke gue."

Tubuh itu Rey dorong membuat Eldo terhuyung ke belakang, kemudian tangannya menghempaskan mangkok berisi bibir dan juga segelas air itu hingga berceceran di lantai.

"Dia bilang semuanya ke gue. Alasan kenapa dia benci banget sama gue... karena gue terlahir dari ibu gue yang disetubuhi orang tak di kenal. Papa bukan ayah kandung gue, dan gue nggak tahu siapa ayah gue sebenernya."

Eldo terdiam mencerna setiap kalimat yang Reynar ucapkan, sebuah fakta yang baru dirinya ketahui.

"Papa bukan ayah kandung gue... Haha... Kenapa skenario yang Tuhan kasih dihidup gue sedrama ini sih."

Melihat tawa di bibir Reynar, entah mengapa Eldo tak menyukainya.

Tawa itu penuh kepalsuan dan tersimpan luka di dalamnya.

Dengan perlahan, ia melangkah kakinya menghampiri Reynar, ketika anak itu masih sibuk tertawa kedua tangannya telah melingkari tubuh Reynar. Menenggelamkan wajah Reynar di dadanya.

"Tolong menangis saja Rey, jangan tertawa. Itu menyakitkan."

🌱🌱🌱

Bandung, 29 Juli 2021.

REYNAR || Huang Renjun [END ✔️] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang