Chapter 15

31.7K 3.4K 31
                                    

Berdiri di dekat motor Sean, kakiku mulai merasa pegal sebab menunggu laki-laki itu yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Berdiri di dekat motor Sean, kakiku mulai merasa pegal sebab menunggu laki-laki itu yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Padahal bel pulang telah berbunyi sedari tadi dan teman-temanku juga sudah pulang.

Merasa tak ada gunanya menunggu di parkiran, maka aku bergegas mencari Sean. Lapangan basket menjadi tujuan utamaku, karena mungkin laki-laki itu sedang latihan basket, itu sebabnya ia tak datang ke parkiran untuk segera pulang.

"Leta."

Kontan aku berhenti melangkah tatkala mendengar panggilan dari arah belakang. Aku menoleh pun berbalik, ternyata Gara disertai senyum jumawanya. Maka ku balas dengan senyum tipis saat Gara telah berdiri di depanku.

"Nyariin gue, kan? Mau ngajak pulang bareng," cetus Gara begitu percaya dirinya.

Aku tak lantas menjawab, bingung harus menanggapi bagaimana. "Iya. Lo kenapa lama banget. Kaki gue pegal nunggu di parkiran." Aku terlanjur berbohong, mengingat kami baru pacaran hari ini.

"Mau pulang sekarang? Tapi gue nggak bisa nganterin. Soalnya gue nunggu, Karin. Dia lagi ekskul."

Siapa juga yang mau dianter sama lo, Aku membatin. Dan perkataan sebaliknya meluncur dari bila bibirku, "Oh gitu. Ya udah nggak apa-apa. Lo tunggu Karin aja. Gue bisa pulang sen—" ucapanku terhenti begitu merasakan adanya sentuhan dipinggangku. Menunduk dan mendapati sebuah tangan kekar melingkar di sana.

"Ayo pulang, latihan basket ditunda." Aku langsung mengenali suara rendah di samping telingaku.

Menolehkan kepala. Sean menatapku disertai senyum tipisnya, dan jujur saja senyuman itu seolah memiliki makna tersendiri yang tak mampu aku jabarkan.

Sean beralih menatap Gara yang terdiam pun rengkuhannya dipinggangku semakin mengerat, "Ada perlu sama adek gue?"

Gara tak menanggapi, namun aku tahu ke mana arah pandangannya tertuju, tentu saja pinggangku. Tubuhku sedikit menggeliat tidak nyaman saat Sean mengusapkan jempolnya pada pinggangku.

"Kalau nggak ada, kami pergi dulu." Tanpa menunggu respon Gara, Sean menarikku meninggalkan lorong itu dengan tangan yang masih melingkar ditubuhku.

"Jangan pulang sama dia," bisik Sean setelah jarak kami sudah jauh dari Gara.

Ingin sekali aku bertanya kenapa? Namun melihat wajah Sean yang keruh aku urungkan niatku itu, tak ingin membuat mood Sean semakin buruk. Akan tetapi timbul pertanyaan dibenakku, kenapa tingkah Sean berubah aneh begini?

Aku melepaskan rangkulan Sean dari pinggangku kemudian berganti menatap laki-laki bernetra gelap itu.

"Lo, masih marah sama gue?"

A or A [New Version]Место, где живут истории. Откройте их для себя