Chapter 33

21.2K 2.2K 14
                                    

Sepatuku menapak pada lantai Royal Hospital—rumah sakit tempat di mana tubuhku dirawat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sepatuku menapak pada lantai Royal Hospital—rumah sakit tempat di mana tubuhku dirawat. Dinding rumah sakit mengeluarkan hawa dingin dari yang terakhir kurasakan. Barangkali itu karena AC ruangan. Ditambah bau khas obat-obatan masuk ke dalam penciuman.

Tanpa sadar aku hampir dekat dengan tujuan. Namun lajuku yang semula normal berubah pelan dan akhirnya berhenti. Di depan sana, terlihat Papa terduduk lesu. Barangkali pria itu frustasi karena putrinya tak kunjung sadar.

Setelah membulatkan tekad, aku pun menghampiri Papa.

"Om," sapaku begitu sampai di dekatnya.

Papa yang semula tertunduk lesu lekas mengangkat kepala menatapku. Wajahnya lelah dari yang terakhir kulihat, terbukti lingkaran hitam yang kentara di bawah matanya ditambah tatapan sayu itu.

"Kamu?"

Aku tersenyum simetris, mengerti raut bingung dari wajahnya yang berusaha mengingatku. "Kita ketemu di restoran waktu itu. Om nggak sengaja nabrak aku," ungkapku.

"Ah, iya, saya ingat."

"Boleh aku duduk Om?" tanyaku meminta persetujuannya.

Ia terkekeh, entah apa yang lucu. "Saya sampai lupa nyuruh kamu duduk, duduklah."

"Makasih Om," lontarku seraya mendudukkan diri di sampingnya.

"Om jenguk siapa di sini?"

"Anak saya. Dia koma." Ia menjawab dengan pandangan lurus ke depan, akan tetapi tatapan itu tak ada gairah hidup di dalamnya.

"Anak om anak yang kuat, pasti dia akan cepat sadar."

"Anak nakal itu sudah berbulan-bulan nggak bangun. Sepertinya dia ingin menyiksa saya dengan rasa bersalah." Suaranya memelan, mengartikan bahwa ia benar-benar merasa bersalah atas perbuatannya yang telah menyakitiku.

Hawa dingin yang menusuk lapisan epidermis kulit turut andil dalam momen ini. Aku bergulat dengan pikiranku sendiri, hingga membuatku ingat akan satu hal. "Aku sayang banget sama Papa."

"Kamu bilang apa?"

Kesadaran menarikku ke permukaan begitu mendengar samar suara Papa barusan. "Ah, itu. Saya bilang walaupun anak Om nakal, pasti dia sayang banget sama Om."

"Saya tahu itu. Tapi saya Papa yang buruk. Pasti dia marah sama saya, makanya dia betah tidur. Dia nggak mau lihat saya lagi."

"Bukan salah Om. Om jangan ngomong gitu. Berdoa aja semoga anak Om cepat sadar," tukasku.

A or A [New Version]Where stories live. Discover now