Chapter 42

16.7K 2.4K 66
                                    

Barangkali rasa empatiku lebih besar daripada rasa benciku terhadapnya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Barangkali rasa empatiku lebih besar daripada rasa benciku terhadapnya. Terbukti aku masih memiliki belas kasih untuk mengobati luka ditubuh Gara.

Pada awalnya aku dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, namun tiba-tiba Gara menghubungiku meminta aku datang kepadanya. Suara Gara di ujung telepon yang terdengar putus asa membuatku tak kuasa menolak permintaannya. Dan kini aku berakhir di sebuah unit apartemen mewah yang kuyakini milik Gara.

Kutotoli kapas bernoda merah kecokelatan pada luka di lengannya. Sejujurnya aku ngilu melihat luka terbelah di tubuh Gara, kejam sekali pria itu menyiksa putranya.

"Sshh sakit," keluh Gara.

Manikku menikai wajahnya kurang dari dua detik, kemudian kembali fokus pada luka di lengannya yang telah diberi obat merah. "Tahan. Harusnya lo ke rumah sakit bukannya minta gue yang ngobatin."

"Leta ...." Gara memanggil namaku dengan lirih ketika aku sedang memakaikan perban pada lengannya. Suaranya berat dan sedikit serak.

"Iya," sahutku tanpa melihatnya sebab jemariku masih sibuk meliliti perban.

"Gue cinta sama lo."

"Iya gue tau," sahutku.

"Gue sayang sama lo."

"Itu juga gue tau."

"Leta ...." Aku mempercepat pergerakanku dalam memasang perban di lengannya ketika suara lirihnya itu menyapa telingaku dengan lembut. "Jangan tinggalin gue. Ayo balikan, kita mulai semuanya dari awal."

Perban pada lengan Gara telah terpasang sempurna, lantas aku segera memasukkan sisi perban dan obat merah ke dalam kotak P3K kembali.

Menoleh ke arahnya. "Kalau itu gue nggak bisa."

Sirat wajah Gara terlihat kecewa. "Kenapa?" tanyanya sendu.

Tak langsung menjawab, aku menyelami isi pikiranku sejemang sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Mau gue kasih tau sebuah rahasia?" ujarku menatap maniknya. "Gue bukan Alleta," ungkapku kemudian.

Gara mendadak tertawa kecil. "Kalau bukan Alleta, terus yang di depan gue sekarang siapa? Hantu?"

Aku mendengus. "Gue serius, Gara! Gua bukan Alleta. Gue cuma arwah yang nyasar ke dalam tubuh Alleta."

"Konyol!" Gara mencibir.

"Fine, gue tau ini konyol, tapi gue nggak bohong! Leta udah meninggal, salah gue waktu itu nggak sengaja nabrak dia."

"Siapa lo sebenarnya?"

"Gue Allana."

Gara bungkam selama tiga detik, maniknya menatapku lekat seakan mencari kebenaran dalam sirat wajahku. "Gue nggak percaya, pasti lo cuma ngarang karena nggak mau nerima gue."

"Buat apa gue ngarang? Lo tau sendiri secinta apa Leta sama lo, Leta nggak akan nolak lo. Tapi gue bukan Leta karena itu gue nggak bisa nerima lo."

Gara menjatuhkan punggungnya ke badan sofa—terhenyak mendengar kebenaran yang baru aku paparkan. Kudengar Gara menarik napas panjang seakan menggambarkan seberapa banyak beban yang tengah ia pikul sendirian. Namun di detik berikutnya ia mendekat dan memelukku.

A or A [New Version]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora