Chapter 16

30.7K 3.3K 22
                                    

Wajahku terasa panas menjalar sampai ke telinga manakala mendengar perkataan ambigu yang baru saja Sean lontarkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wajahku terasa panas menjalar sampai ke telinga manakala mendengar perkataan ambigu yang baru saja Sean lontarkan. Bangkit dari atas kasurnya, aku sesegera mungkin menyusul Sean namun sampai di pelataran mansion, aku melihat Sean bersama motornya telah menghilang di balik tingginya pagar tembok mansion.

Aku menatap sebal ke arah gerbang dengan bibir agak mengerucut. Aku berbalik ingin masuk ke dalam rumah pada awalnya namun suara nyaring motor berknalpot racing memasuki runguku.

Sean melepas helm untuk kemudian turun dari atas kendaraannya lantas melenggang ke arahku.

"Kenapa balik lagi?"

Dia tak menggubris terus berjalan melewati tubuhku sembari menatap singkat melalui ekor matanya, side eyes.

Aku tersenyum jahat tatkala sebuah ide melintas di kepalaku. Menatap sejemang ke arah pintu untuk memastikan keberadaan Sean lantas aku mengayunkan tungkai menuju motor sport laki-laki itu.

"Ngapain lo duduk di motor gue?"

Sopran Sean memasuki runguku, laki-laki itu telah berdiri di tempat aku berpijak sebelumnya dan membuatku terkesiap kala langkahnya mendekat.

"Turun!"

"Nggak mau! Kasih tahu dulu lo mau pergi ke mana?" Aku bertanya.

"Lo nggak harus tahu gue mau ke mana."

Sebuah jawaban dengan intonasi datar. Kali ini aku dapat merasakan jika aku benar-benar seperti orang asing baginya, padahal aku adik kandungnya. Bukan, maksudku tubuh ini adalah tubuh adik kandungnya— Leta.

Kepalaku tertunduk canggung dan mengalihkan pandangan ke arah lain namun indra pendengaranku masih mengait pada gerak-gerik Sean.

Helaan napas Sean dapat ku dengar. Seketika aku menarik jaket Sean pada pinggangnya saat lelaki itu naik ke atas motor dengan tak santai.

"Jadi gue boleh ikut?" cetusku namun Sean membungkam bibirnya seperti tak acuh mendengar pertanyaanku.

Gelap menggantung di langit kota, siang telah berganti malam, temperatur yang turun terasa menerpa epidermis kulitku.

Berjam-jam Sean melajukan motornya membuat pantatku mulai mati rasa. Namun rasa sakit pada pantatku lenyap begitu saja ketika mataku melihat gedung 50 lantai yang baru saja dilewati oleh motor Sean—kantor Papa.

Aku merindukan pria itu, aku merindukan Papaku. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk menemuinya. Di atas motor Sean yang melaju dengan kecepatan sedang air mataku mengalir begitu saja. Apa yang sebenarnya aku tangisi sekarang? Nasib sial yang menimpaku atau rasa rinduku kepada Papa?

A or A [New Version]Where stories live. Discover now