Awal

3.2K 268 39
                                    

Sudah sepuluh tahun semenjak kematian sang istri, Tama masih terpuruk dalam bayang-bayang sepi. Sempat terpikir untuk menyusul, tapi ia sadar ada lima bintang yang harus dijaga. Terlebih, janjinya kepada sang istri harus ia tepati. Setidaknya, ia harus bertahan sampai kelima sudut itu siap untuk memancarkan cahaya.

"Ayah ngapain di luar? Ini udah malam loh," ucap seseorang yang langsung mengalihkan atensinya dari bintang di angkasa.

Juna, anak sulungnya ikut duduk lantas menatap Tama heran. Juna sudah berusia dua puluh tahun, usia yang cukup dewasa untuk diajak berbagi. Selama ini, memang Juna lah yang menjadi tempat Tama berkeluh kesah jika keadaan memaksanya.

"Gak papa, ayah cuma lagi kangen sama bunda."

"Juna juga, Yah. Adik-adik pasti juga rindu, apalagi Bian. Dia yang paling dekat dengan Bunda."

"Mengikhlaskan itu sulit, tapi hidup harus terus berjalan, kan? Ayah mau kita harus saling menguatkan dan menyembuhkan."

"Iya, Yah. Bunda juga pasti nggak mau lihat kita kaya gini terus, kan."

"Makasih, ya Bang. Abang hebat banget bisa bantu Ayah jagain adik-adik."

"Ayah gak perlu ngomong gitu, emang udah tugas Abang untuk jagain mereka. Ya udah, ayah masuk dulu. Besok Ayah harus berangkat ke proyek yang di Lombok, kan? Jangan tidur larut, Yah."

Tama mengusap kepala putranya lembut, lalu bergegas masuk. Sedangkan Juna masih diam di tempat. Ia ingat betul bagaimana sang ayah yang rapuh saat itu. Di saat bundanya pergi, Juna masih berusia sepuluh tahun, dan adik kembarnya baru berusia enam tahun. Saat itu, usianya mungkin masih sangat belia namun ia tahu bahwa dialah yang akan menjadi penopang untuk adik-adiknya.

Adik pertamanya bernama Satria, saat bunda meninggal, anak itu masih berusia delapan tahun yang berarti sekarang ia sudah memasuki semester akhir di SMA, masa sibuk-sibuknya. Terlebih mood anak itu sedang tidak teratur. Kadang, ia pulang sekolah dengan marah-marah karena tugas yang menumpuk. Kalau sudah begitu, tandanya Satria tidak bisa diganggu.

Selanjutnya ada Bian, sosok yang paling tidak tersentuh di keluarganya. Anak itu tidak pernah terbuka kepada siapapun, bahkan kepadanya atau Tama sekalipun. Dulu, bian sangat dekat dengan bunda. Hanya bunda yang tahu bagaimana Bian yang sebenarnya. Tentu saja kepergian bunda membuat anak itu terpukul bahkan Bian sempat tidak mau makan beberapa hari hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Setelahnya pun, ia menjadi murung. Juna harus mengerahkan seluruh kemampuan yang ia miliki agar Bian mau terbuka kepadanya. Bahkan anak itu mau bercerita tanpa ia tanya baru beberapa bulan ini. Sejauh itu saja, Juna sudah sedikit lega. Asal Bian mau bercerita, asal Bian tidak mengasingkan diri.

Selanjutnya, ada Tian, seorang anak yang dewasa. Si kembar yang ini memiliki pemikiran yang jauh lebih matang daripada anak seusianya. Kadang, Satria saja akan mendapat omelan dari Tian. Jika Juna merasa tertekan dengan keadaan, ada uluran tangan dari Tian yang siap merengkuhnya. Ada telinga dari Tian yang siap mendengar keluh kesahnya. Cita-cita Tian pun tidak muluk-muluk. Ia ingin kuliah jurusan Psikologi supaya bisa menjadi tempat bercerita dan memahami seseorang dengan baik, terlebih keluarganya.

Yang terakhir, anak bontot itu bernama Kara, tapi karena nama Kara terdengar seperti perempuan, ia lebih suka dipanggil Kai. Ia adalah cowok idaman di sekolah. Yang menyukai Kai itu tidak hanya satu angkatan dengannya, bahkan kakak kelas tidak akan malu untuk menunjukkan perhatian pada manusia nyaris sempurna itu. Kai yang kini masih duduk di kelas sepuluh itu memang tidak terlalu pintar dalam pelajaran namun ia sangat aktif dalam organisasi. Di rumah, ia lebih suka berada di kamar Bian, padahal di sana tidak ada apa-apa. Meski kamar Bian dingin, meski ruangan itu tak sehangat pelukan bunda, Kai merasa bahwa tubuh Bian, kamar Bian, apapun tentang Bian mengingatkannya dengan sang Bunda.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now