Jangan Ada yang Padam

612 107 22
                                    

⚠️ Peringatan ⚠️ Bab ini mengandung mental issue, bagi yang tidak nyaman, harap skip ya. Thank you ... Selamat membaca🌻


Pada kenyataannya, hidup memang tidak sesederhana menyeduh teh lalu meminumnya ketika senja. Hidup tak sesederhana menyaksikan burung merpati hinggap ke sana kemari. Jauh lebih dari itu, hidup penuh dengan kejutan.

Tama tengah dihadapkan dengan kenyataan pahit yang lagi-lagi menyerangnya. Hari ini ia sengaja pulang lebih awal dari biasanya. Hanya ada Kai di rumah karena putra bungsunya itu merasa tidak enak badan. Tentu saja Tama merasa khawatir, pasalnya tidak ada orang yang bisa menemani Kai. Juna harus ke kampus, Satria pun harus ke sekolah untuk pendalaman materi. Tian juga harus kembali mempersiapkan olimpiade karena kemarin anak itu mendapat juara. Bian juga sudah kembali ke sekolah karena tidak mau ketinggalan pelajaran lebih banyak.

Jadilah Tama menyempatkan diri untuk pulang lebih awal agar bisa menjaga putra bungsunya. Namun begitu ia sampai rumah, Tama mendapati Kai tengah menatapnya dingin dengan map yang berada di genggaman tangannya. Tama tidak bodoh, ia tahu betul map apa yang Kai bawa. Sebuah catatan hasil pemeriksaan milik Bian. Ya, Tama tidak akan salah dalam mengingatnya.

"Kai, kamu bawa apa itu?" Tanya Tama setenang mungkin.

"Kak Bian sakit tapi Ayah gak bilang sama kita semua? Atau cuma aku yang gak dikasih tahu?!" Sentak Kai dengan lantang.

"Enggak, Kai. Kamu salah paham. Itu bukan milik kak Bian."

"Ayah, aku bukan anak kecil yang gampang dibodohi. Jelas-jelas di sini ada nama kak Bian. Biantara Pradipta!"

"Kai, dengerin Ayah dulu."

"Kalau kaya gini, gimana bunda gak mau bawa kak Bian, Yah!"

"Maksud kamu apa, Kai?"

Tama menatap Karafilo dengan penuh tanya. Apa maksud dari anak itu, mengapa ia membawa-bawa mendiang istrinya dalam percakapan ini.

Tama masih tidak mengalihkan pandangannya dari Kai sampai ia mendapat jawaban. Sedangkan yang ditatap juga masih menatap Tama dengan nyalang. Seperti ada percikan api di antara dua pasang mata yang kini saling tatap.

"Kai, maksud kamu apa?!" Kali ini Tama sedikit meninggikan suaranya.

Mendapat bentakan itu, Kai jadi sedikit tersentak. Sedetik kemudian tatapan anak itu mendadak kosong. Tama yang kebingungan dengan sikap anaknya mencoba untuk mengguncang bahu kai perlahan. Ia merasa putranya bersikap tidak wajar.

"Kai, jawab Ayah. Karafilo!"

Bentakan dari Tama itu membuat Kai reflek menutup kedua telinganya. Ia mundur beberapa langkah seperti sedang menghindari bahaya sebelum akhirnya terduduk dengan masih membekap kedua telinganya sambil bergumam tidak jelas.

Tama yang semakin dibuat panik mencoba mendekati si bungsu. Namun baru saja hendak mendekat, Kai kembali menatap lalu meraih lengannya dengan kuat.

"Gak ... Jangan ... Ayah, jangan!" Teriaknya dengan tangan kiri yang beralih memukul-mukul telinganya sendiri.

"Hei, hei ... Kai, ada apa. Kenapa nak?" Tama mencoba menghentikan aksi Kai yang bisa saja melukai dirinya sendiri.

"Ayah ... Bunda ... Bilang ke bunda untuk berhenti Yah! Kai gak mau denger lagi. Kai gak mau!"

"Sayang, tatap Ayah dulu. Kamu dengar apa?"

Air mata anak itu sudah tidak terbendung lagi. Bulir itu luruh dengan tarikan napas yang semakin cepat. Pandangannya ikut meliar seperti tak menemukan titik fokus yang tepat. Dalam kepanikan yang semakin menjadi itu, Tama masih mencoba untuk menenangkan putranya. Mencoba merengkuh, barangkali hal tersebut bisa membuat Kai sedikit tenang. Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Kai masih belum kunjung membaik, malah semakin keras meneriakkan hal yang Tama sendiri tidak bisa memahaminya.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now