Bintang dan Cahaya

1K 166 18
                                    

Sesuai janji, malam ini update. Selamat membaca 💙🌻🌻🌻🌻


Tempat ini telah menjadi musuh terbesar yang seharusnya dihindari oleh mereka. Namun siapa sangka jika pada akhirnya mereka harus kembali ke tempat ini. Bahkan dalam setahun sudah dua kali mereka menyambangi bangunan bernuansa putih dan berbau karbol itu.

Tama terduduk di sebelah ranjang Bian, menunggu putranya itu membuka mata. Satria duduk tak jauh dari mereka, dengan diam-diam menyimpan kegelisahan. Sedangkan tiga yang lain tetap berada di rumah. Tama sengaja mencegah mereka ikut, kaki Juna belum sembuh sepenuhnya. Lagipula Kai pasti masih merasa syok karena ia lah yang berada di samping Bian sebelum anak itu tak sadarkan diri.

Beberapa waktu lalu, dokter mengatakan pada Tama agar putranya mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut seperti tes darah, fungsi paru, hingga biopsi jika diperlukan. Dokter mengatakan bahwa putranya seperti baru mendapatkan cedera pada rusuknya, namun itu bukan menjadi masalah terbesar. Kecurigaan terbesar dokter ialah Bian mengalami penyakit yang sama dengan sang bunda, hal ini berdasarkan perubahan fisik yang terjadi pada anak itu. 

Meski itu hanya sebuah kecurigaan, Tama tidak bisa berhenti untuk memikirkan semuanya. Ketakutannya semakin menjadi, ia tak mau kehilangan lagi. Lantas, apa yang harus ia katakan nantinya pada empat putranya yang lain. Tidak, ia percaya bahwa hasilnya akan berbeda. Bian akan kembali dalam keadaan baik-baik saja. Semua putranya tidak akan ada yang pergi mendahuluinya. 

"Bian sakit apa Yah?" tanya Satria perlahan ingin memastikan keadaan sang adik.

"Kata dokter, untuk memastikannya harus melewati pemeriksaan lebih lanjut, Kak." 

"Bian bakal baik-baik aja kan Yah?"

"Ayah yakin, Bian pasti baik-baik aja."

Kalimat yang Tama ucapkan serupa mantra untuk menenangkan diri sendiri, untuk memberi keyakinan bahwa buah hatinya aka baik-baik saja. Tama mulai menyalahkan diri sendiri karena sepertinya ia gagal menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya, terlebih Bian. Bahkan sampai sebelum peristiwa tumbangnya Bian, ia sempat berdebat hebat hingga anak itu menyuarakan ketidakadilan yang ia dapatkan.

"Ra, maaf karena aku gagal menjaga anak-anak kita," ucapnya dalam hati seolah sedang berbincang dengan mendiang sang istri.

Detik berganti, menit berlalu, waktu terus bergulir hingga perlahan netra yang semula tertutup itu mulai terbuka. Bian merasa tidak nyaman karena sesuatu menempel dan menggelitik hidungnya. Baru saja ia ingin mengenyahkan benda itu, tangannya telah dicegah oleh sang ayah. 

"Jangan dilepas, Bi. Biarin dulu, napas kamu masih belum teratur," ucap Tama sambil menggenggam tangan anaknya perlahan. 

"Yah, maaf."

Setelah mengucapkan itu, Bian kembali diam. Tama kira, anaknya akan meneruskan kalimat dan memberi penjelasan mengapa ia meminta maaf. Namun ternyata, selang beberapa waktu ia tetap diam. 

"Kamu minta maaf kenapa?"

"Semuanya, Bian banyak salahnya. Akhir-akhir ini aku sering bohong sama Ayah, bikin Ayah kecewa, dan masih banyak lagi."

Tama menarik napas perlahan. Jika ditanya marah atau tidak, sekarang sudah tidak. Ia hanya merasa kecewa saja, pada diri sendiri, juga pada Bian. Tama semakin erat menggenggam tangan sang anak seolah tidak akan membiarkan pemilik tangan itu ke mana-mana.

"Ayah emang kecewa sama kamu, tapi bukan berarti Ayah gak ikut andil dengan semua tindakan kamu. Semua terjadi karena salah Ayah, Ayah udah gagal jadi orang tua yang baik. Ayah juga minta maaf, ya."

"Apa aku masih bisa perbaiki semua?"

"Harusnya Ayah yang nanya gitu, Bi. Apa Ayah masih bisa perbaiki semua dan belajar jadi ayah yang baik buat kamu?"

Menjaga BintangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz