Dekap

842 111 10
                                    

Tian tengah berdiri di depan ruang rawat adik kembarnya. Sepulang dari sekolah, ia mendapati keadaan keluarganya yang tidak baik-baik saja. Tentang Kai dengan kondisi psikologis yang tidak baik, tentang Bian yang menderita sakit seperti bundanya, dan tentang ayahnya yang menyimpan semua.

Hancur, hatinya seperti dibelah menjadi bagian-bagian kecil yang tak terhitung jumlahnya. Ia semula ingin menjadi orang yang paling bisa memahami keluarganya. Namun pada kenyataannya, ia selalu menjadi orang paling akhir untuk tahu.

Ia merasa gagal. Gagal menjadi saudara, pun gagal menjadi anak. Seapatis itukah dirinya, sehingga perubahan yang terjadi tak sampai menyentuh radarnya. Kecewa, tentu saja ia ingin memaki diri sendiri. Namun dengan hal itu pun tak mengubah keadaan.

Ia mantapkan hati untuk masuk ke ruang rawat Karafilo. Di sana, ia melihat Kai tengah berdiri menatap ke arah jendela. Cairan infus yang berada di sebelahnya sudah hampir habis. Ia sempat mendengar bahwa jika infus Kai sudah habis, anak itu bisa dipindahkan ke poli jiwa. Ya, gejala psikosis yang dialami Kai terbilang cukup berat—meskipun gejalanya datang dan pergi, sehingga harus mendapatkan penanganan yang tepat.

"Kai," panggil Tian dengan pelan.

Yang dipanggil menoleh, tersenyum ke arah saudaranya. Kai pun berjalan kembali ke ranjang dan merebahkan diri di sana.

"Masih lemes?" Tanya Tian memastikan.

"Gue menyedihkan banget ya ternyata," ucap Kai secara tiba-tiba.

"Kenapa bilang gitu?"

Karafilo hanya menggeleng pelan. Tatapannya kembali kosong membuat Tian ingin menangis rasanya. Menyaksikan saudara kembarnya yang dahulu penuh warna, yang dulunya sosok ceria dan selalu menebarkan kehangatan berubah menjadi seperti ini membuatnya tak karuan.

"Kai, lo kenapa gak pernah mau terbuka sama gue? Apa yang selama ini lo rasain, Kai?"

Mendengar pertanyaan dari saudara kembarnya itu membuat Kai melirik Tian sebentar, sebelum akhirnya kembali membuang pandangan ke angkasa luar.

"Gue takut Yan, kak Bian sering bilang mau ikut bunda. Gue gak mau Yan, gak mau kehilangan lagi!"

Tangis Kai kembali hadir, aliran sungai meleleh membasahi manik matanya. Bayangan tentang Bian yang menyembunyikan tangisnya, Bian yang selalu meminta bunda menjemputnya, serta bayang-bayang sang ayah yang beberapa kali membuat Bian semakin terpuruk kembali hadir di kepala Kai.

"Kai, kak Bian gak sendiri. Kak Bian punya kita, ada lo juga." Tian mencoba menenangkan Kai.

Direngkuhnya sang kembaran seperti menyalurkan rasa aman. Ia ingin Kai tidak terus menerus memikirkan hal buruk. Meski keluarganya tidak pernah benar-benar baik-baik saja, setidaknya ia harus bisa melindungi Kai.

Di tengah percakapan itu, pintu ruang rawat terbuka menampilkan seorang laki-laki berseragam putih. Tian bergerak mundur memberi ruang pada dokter itu untuk memeriksa keadaan sang adik.

"Bagaimana keadaan kamu, Kai?" Tanya dokter itu dengan lembut.

"Aku baik-baik aja dok," jawab Kai sembari tersenyum.

"Ayah kalian di mana?" Tanya dokter itu yang kali ini lebih mengarah ke Tian.

Tian diam sejenak. Tama sedang mengurus beberapa hal mengenai administrasi rawat inap untuk Bian. Ya, anak itu kembali dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sempat memburuk. Tama sengaja memilih rumah sakit tempat Kai berada. Tadi ketika anak itu ditinggal pulang, ada Wahyu yang berjaga di depan ruangan. Kini Wahyu telah pulang karena memang seharusnya anak itu sudah berada di rumah sejak tadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now