Potongan Puzzle

771 154 35
                                    


.

.

.

"Kak, kalau lo jadi bintang, lo pengen jadi bintang apa?" 

Pertanyaan dari sang adik membuatnya terdiam sebentar. Kai yang tadi tiba-tiba muncul saat Bian tengah melamun di balkon kamarnya, kini tengah duduk di sampingnya sambil memandang burung-burung dalam perjalanan pulang menuju sarang. 

Di antara detik yang berisi kekosongan itu, Kai masih menatap sang kakak dalam diam menunggu jawab yang terlontar. Ia tidak menganggap pertanyaannya tadi sebagai permainan tanya milik anak kecil, sungguh ia tidak main-main. Kai selalu mendengar bahwa ayahnya menyebut mereka sebagai bintang, maka dari itu ia ingin tahu saudara-saudaranya memilih bintang apa untuk representasi diri. 

Beberapa waktu lalu ia sempat bertanya dengan Satria dan kakaknya itu malah menjawab Bintang Kejora. Iya sih benar, Kejora disebut sebagai bintang, tapi kan sebenarnya kejora adalah planet Venus yang mendapat pancaran dari matahari. Sangat menyebalkan memang, apalagi Satria sangat ngotot untuk tetap mempertahankan pilihannya bahwa ia adalah Bintang Kejora. 

Lupakan tentang Satria yang aneh itu, kini Kai masih menunggu jawaban dari Bian. Ia berharap satu-satunya kakak yang waras ini akan memberi jawaban memuaskan. Dan benar saja dugaannya, Bian memang paling normal di antara yang lain.

"Gue pengen jadi rasi bintang Circinus," jawabnya.

"Circinus kan rasi bintang redup, Kak."

"Tapi dia gak pernah terbenam, dia selalu ada meski keberadaannya mungkin gak terlalu menarik orang-orang."

"Kalau gitu gue mau jadi Alpha Centauri aja."

"Karena dia terang?"

Kai menggeleng pelan atas pertanyaan Bian. Bukan itu tujuannya memilih bintang paling terang ketiga dari Bumi. Bukan juga pusat perhatian yang banyak didapatkan oleh Alpha Centauri yang membuatnya memilih bintang ini. 

"Karena dia dekat sama Circinus, terus Alpha Centauri juga membantu Circinus untuk diketahui keberadannya. Gue pengen kaya gitu Kak, gue pengen jadi orang yang ada di dekat lo dan bantu supaya lo dikenali, supaya lo diakui semua orang."

Bian tersenyum tipis, entah kenapa jawaban dari adik bungsunya itu membuat hati Bian menghangat. Bian jadi berpikir, mungkin saat semesta tak mau menerimanya, masih ada Kai yang mau menggenggam tangannya. 

"Tapi gue pernah dengar kalau bintang yang paling terang itu bakal cepat padam," Ucap Bian mengalihkan pandangannya pada sang adik.

"Kaya bunda maksud lo?" tanya si bungsu yang langsung membuat Bian bungkam, "Gue gak masalah kok, justru gue pengen jadi kaya bunda," lanjut Kai.

Bola mata Bian seakan ingin keluar saat Kai mengucapkan kata-kata yang menurutnya tidak pantas untuk keluar dari bibir siapapun. Ia sangat tidak suka dengan pembicaraan semacam ini. 

"Huss, lo ngomong apa sih?"

"Gue gak akan biarin bunda bawa lo Kak, gak akan pernah!"

"Siapa yang bilang bunda mau bawa gue? lo pasti mimpi aneh-aneh lagi. Mimpi itu bunga tidur, Kai. Jangan dipikirin!"

Kai tak menjawab pernyataan sang kakak, ia hanya mengangguk pura-pura menyetujui ucapan kakaknya itu. Ia sudah berjanji pada sang 'bunda' untuk merahasiakan semuanya. Untuk itu, Kai tidak mau membuat kesalahan barang sedikit pun. 

Di lain sisi, Bian sedikit khawatir dengan adiknya itu. Semenjak kecelakaan, Kai semakin berubah menjadi orang yang berbeda. Sosok yang dahulu penuh energi positif, sosok yang selalu optimis dalam menjalani hidup, kini berubah sebaliknya. 

Karafilo Arya bukan lagi adik bungsunya yang menggemaskan dan banyak bicara. Entah ke mana sosok itu hilang, dan siapa yang berhasil menculik sinar milik Kai sehingga hanya redup yang tersisa.

Tak berselang lama, Kai berpamitan kembali ke kamar. Ia meninggalkan Bian dengan seribu tanya yang tersendat di kerongkongan, "Gimana lo mau jadi Alpha Centauri, Kai. Cahaya lo aja lebih redup daripada Circinus."

 Bian menghela napas panjang, berat rasanya menghadapi semua secara bersamaan. Mimpinya kandas, hidupnya di ambang batas, dan satu persatu anggota keluarganya yang semakin tak terjangkau. 

"Kata dokter, ada jaringan parut di paru-paru kamu", kata-kata sang ayah masih terlintas dengan jelas di otaknya. Sudah seharian ia mencari tahu tentang penyakit itu, namun tak menemukan hasil yang bisa ia cerna dengan otak miliknya. 

Untuk apa penyakit itu bersarang di tubuhnya, bukankah ia bahkan belum menyentuh usia dua puluhan. Ia juga tidak pernah melakukan kegiatan ekstrem seperti terpapar zat kimia berat. Dan lagi, kenapa Tuhan memilih penyakit yang obatnya saja belum ditemukan untuk masuk ke tubuhnya. Kenapa dari dulu semesta suka sekali memberinya luka seperti ini. Apakah dirinya tidak berhak untuk bahagia?

Sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk tiga kali, disusul suara berat dari sang ayah. Bian pun mempersilakan Tama untuk masuk dan duduk di sampingnya. Balkon kamar Bian terbilang yang paling nyaman karena terdapat kursi dari bahan antikarat yang sengaja ditaruh untuk menikmati surya menyisih ke peraduan.

"Anak ayah lagi mikirin apa?" tanya Tama langsung pada inti.

"Lagi gak mikirin apa-apa Yah."

"Perihal yang ayah bilang kemarin, kamu cerita sama saudara-saudaramu?"

Bian menggeleng, sepertinya ia paham arah pembicaraan ayahnya. Tentu saja ia juga tidak ingin merusak kebahagiaan keluarganya, ia tidak ingin menambah beban pikiran pada saudara-saudaranya. Bahkan jika ia bisa membalik waktu, ia pun tidak mau ayahnya tahu.

"Ayah tenang aja, aku gak cerita ke siapapun. Aku gak berhak menciptakan luka di hati orang-orang, Yah. Bahkan kalau bisa, aku gak mau nambahin beban Ayah."

"Bukan, Ayah gak bermaksud gitu, Bi. Ayah cuma nunggu waktu yang tepat untuk bilang ke yang lain." 

"Cukup aku aja yang tahu Yah, toh semua aku yang ngalamin kan?" 

Tama langsung menarik Bian dalam rengkuhnya. Sosok laki-laki dewasa itu tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Ia tahu jika Bian pasti membutuhkan tempat bersandar selain dirinya, namun di sisi lain ia takut jika trauma masa lalu menghampiri anak-anaknya lagi.

"Maafin Ayah, Ayah lagi-lagi nyakitin kamu. Lagi-lagi kamu yang harus ngalah."

Sejujurnya yang dikatakan Tama itu memang benar. Lagi-lagi Bian harus mengalah, lagi-lagi ia harus memendam semuanya sendiri, bahkan untuk berbagi rasa sakit saja tidak diperbolehkan. Tapi apa yang Tama lakukan juga bukan sebuah kesalahan, ia juga tidak mau membuka luka lama di keluarganya. Meninggalkan dan ditinggalkan ternyata sama-sama menyakitkan. Bedanya, luka akan bersarang lebih lama bagi yang ditinggalkan.

"Nanti kalau aku udah sama bunda, Ayah jangan lepasin yang lain ya, jangan ada Bian yang lain." 

Jantung Tama seperti tercabik-cabik mendengar ucapan anak tengahnya. Suara pelan Bian serta nadanya yang halus semakin menambah rasa sakit yang menghujam. Ia tahu jika kesalahannya pada Bian amat besar, namun mendengar sindiran langsung dari putranya masih saja menyakitkan. 

"Kamu gak akan ke mana-mana, gak akan ada yang ninggalin ayah duluan!"

Bian hanya bisa tersenyum. Memangnya apa lagi yang bisa ia lakukan? Sepertinya sedari awal kata bahagia bukan menjadi haknya. Kebaikan ayahnya pun tidak sepenuhnya berubah, hidupnya hanya akan menjadi abu-abu sampai akhirnya epilog tiba.    







.

.

See you next part ....


.

.

.

Mohon maaf lahir dan batin semuanya 😭 maaf juga karena up nya mundur lama banget heuheu ... Semoga ini bisa mengobati kangen kalian (bagi yang kangen) 😌🙏


.

.

With love, Rusa
Utopia, 29 April 2023

Menjaga BintangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz