Getting Worse

1K 175 64
                                    

Mobil yang berisi empat orang itu seperti melaju bersama udara. Tama tidak peduli dengan makian yang dilontarkan orang-orang kepadanya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika nanti ada polisi yang mencegatnya karena ia mengemudi dengan kecepatan yang diatas rata-rata.

Juna yang berada di samping Tama merasa cemas, jantungnya berdebar tak keruan melihat gerak-gerik sang ayah. Juna berani bertaruh bahwa siapapun orang yang menatap mata elang itu pasti akan sangat ketakutan. 

Tak berselang lama, mereka pun sampai di tujuan. Sebuah bangunan yang menjadi saksi kisah-kisah dan takdir yang terjadi di antara mereka. Iya, rumah lah yang menjadi tujuan mereka, sebuah tempat yang membuat Tama mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi untuk menjangkaunya.

Ternyata, kedatangan mereka telah dinanti oleh kedua bungsu Tian dan Kai yang menunggu dengan cemas di ruang tamu. Sontak ketika melihat mobil Tama memasuki halaman rumah dengan tidak santai, membuat keduanya saling pandang. 

"Yan, kayanya ayah marah deh," Ucap Karafilo kepada kembarannya. 

"Udah Kai, mending lo naik aja, pake earphone sana."

"Tapi gue ... "

"Kai, dengerin gue, tolong."

Kai akhirnya mengalah. Ia menuruti permintaan sang kembaran lalu naik ke atas, menuju kamar mereka berdua. 

Sementara Tian menunggu ayah dan saudara-saudaranya masuk ke rumah. Firasatnya mengatakan hal yang tidak baik akan terjadi hari ini. Tadi ia mendengar percakapan kakak sulungnya dengan sang ayah sebelum mereka berangkat.

Juna mengisyaratkan mengajak sang ayah menuju suatu tempat untuk menyusul Satria, namun kini mereka kembali beserta Bian juga. Sepertinya ia sedikit mendapat petunjuk saat melihat muka Bian yang babak belur berjalan di belakang Satria dan Juna. 

Tak ada perkataan apapun yang terlontar ketika mereka melewati Tian, begitu juga yang dilewati tak berani bersuara walau hanya sekadar sapa. Barulah ketika sampai di ruang keluarga, suasana pecah seperti dugaan Tian.

"Kamu mau bikin ayah marah kaya gimana lagi, Bi?" Sentak Tama sambil melempar kunci mobil ke sembarang arah dengan frustasi.

Semuanya diam, bahkan Bian yang ditanya pun tak berani menatap mata sang ayah. Oh iya, jangan berharap ada adegan kakak yang mengompori ketika adiknya sedang dimarahi. Juna dan Satria sama-sama tidak berani ikut campur kali ini.

"Ayah pernah ngajarin kamu ikut tawuran kaya gitu, ha?" 

"Bian gak tawuran, Yah," Bian mencoba bersikap setenang mungkin untuk menghadapi kemarahan sang ayah.

"Terus apa namanya kalau bukan tawuran? Ayah tanya sama kamu, apa namanya kalau bukan tawuran kalau badanmu aja babak belur kaya gini. Belum lagi kamu sampai diamankan kepolisian!" 

Tama sangat kecewa dengan Bian karena perbuatannya hari ini. Tadi Tama serta Juna terburu menyusul setelah Satria mengatakan mereka sedang berada di kantor polisi. Sesampainya di sana, Tama mendapati Bian bersama belasan remaja lainnya dalam keadaan yang kacau.

Polisi mengatakan bahwa terjadi perkelahian antar-remaja yang terjadi di salah satu gang dekat sekolah. Para remaja itu, termasuk Bian akan mendapat pembinaan serta surat peringatan dari polisi yang akan disampaikan kepada sekolah masing-masing.

Diduga perkelahian itu terjadi karena adanya dua kelompok yang saling berseteru antar sekolah. Orang tua mana yang tidak kecewa jika mendengar anaknya terlibat kenakalan remaja. Tentu saja Tama sangat marah, ia tidak ingin anaknya salah pergaulan seperti ini. 

"Tapi Bian beneran gak tawuran, Yah!" Kali ini Bian sedikit meninggikan suaranya. 

"Buktinya udah ada Bi, gak usah ngelak lagi. Bahkan besok aja ayah gak tahu kamu masih diterima atau enggak di sekolah."

Menjaga BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang