Jika saja ...

894 162 36
                                    

Ada berapa banyak pertanyaan yang terlintas di benakmu, ketika mentari mulai memancarkan kehangatannya setiap hari? Sudah berapa banyak mimpi yang harus segera kau akhiri ketika silaunya cahaya menembus jendela? Pasti banyak, tak terhitung jumlahnya, bukan? seperti kalimat 'Bagaimana jika ... " yang terus mengikuti sebuah penyesalan. 

Seperti pagi ini, di pinggir lapangan basket Bian hanya menatap sang kakak yang sedang bermain bersama teman-temannya. Kaki Satria memang belum pulih sepenuhnya, tapi kalau hanya untuk permainan ringan ia sudah bisa. Di pinggir lapangan itu ia ditemani Johan. Mereka baru saja membahas mengenai peristiwa dicoretnya Bian dari daftar rekomendasi. Perkataan Pak Bagas masih terngiang di kepalanya.

"Maafkan Bapak, Bi. Keputusan Bapak membatalkan surat rekomendasi untuk kamu sudah Bapak pikirkan dengan matang. Sebenarnya Bapak selalu mengawasi performa kamu di setiap pertandingan, baik saat latihan ataupun pertandingan resmi. Puncaknya saat final kemarin bapak merasa kamu masih belum cukup untuk maju. Speed kamu melemah bahkan Johan dan Dewa berkali-kali mengambil posisi yang berisiko untuk menyamai kecepatan kamu. Sekali lagi maafkan Bapak."

Kecewa, tentu saja hal itu sedang Bian rasakan. Ia tidak menyalahkan Pak Bagas yang tidak mau mempertahankannya. Yang ia sesalkan adalah dirinya sendiri yang tidak mampu bermain lebih keras. 

"Bi, lo gak papa?" Tanya Johan pada sahabatnya yang sedari tadi diam.

Bian beralih menatap sahabatnya, "Gue gak papa. Emangnya kenapa?" Bian balik bertanya.

"Pasti ada jalan buat lo, Bi!"

Bian tersenyum. Hal yang bahkan tidak Bian lakukan saat kemenangan kemarin. Senyuman itu berhasil membuat bulu kuduk Johan berdiri. Mungkin sedikit berlebihan, tapi yang jelas senyuman itu malah membuatnya semakin khawatir.

"Gue masih punya kesempatan lain. Gue pasti bisa nyusul lo di club provinsi!"

"A-a-ah, iya bener. Lo pasti bisa. btw kita udah lama gak ke tempat biasa, balik sekolah cabut kuy!"

"Yang lama gak ke sana itu gue, lo pasti tiap hari nangkring di sana!"

Johan tertawa pelan mendengar perkataan Bian. Ternyata sohibnya itu bisa bercanda juga. Bukan candaan sebenarnya, tapi entah mengapa nada Bian berbicara terdengar lebih rileks, beda dari Bian yang biasanya.

"Kuy gak?" tanya Johan lagi untuk memastikan.

"Gas!"

Di tengah percakapan mereka, Satria yang sedari tadi asyik bermain basket tiba-tiba nimbrung, tentu saja diikuti dengan pawangnya alias Hasta. 

"Bi, gue udah chat Bang Juna kalau ntar habis pendalaman materi gue gak langsung balik," ucapnya meraih sebotol air mineral yang berada di samping Bian.

"Ke mana?" 

"Ck, kepo. Pokoknya gue ada urusan. Lo balik bareng Tian kan?"

"Gue mau cabut sama Johan," ujar Bian sambil menunjuk sahabatnya yang sudah menunjukkan cengiran manisnya.

Satria berdecak pelan, "Kai nanti sendirian di rumah, dong?" 

"Kan ada Tian, Bi Lasti, sama Pak Danu?"

"Iya juga sih, ya udah lo boleh cabut bareng Johan. Tapi jangan pulang larut!"

Bian mengangguk sebagai jawaban, Sedangkan Satria langsung beranjak begitu mendapatkan jawaban dari Bian. Di tempatnya, Johan menatap cengo kepergian Satria.

"Itu Kak Satria? Tumben banget dia perhatian sama lo?" tanya Johan heran. 

"Tumben gimana?"

"Ya biasanya tuh orang suka ngegas kan?"

Menjaga BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang