Promise

1.1K 185 52
                                    

Tarik napas .... Hembuskan

Selamat membaca ^-^

Juna menatap Satria tidak percaya. Cerita yang baru saja keluar dari mulut sang adik itu masih berusaha Juna cerna dengan baik. Tentu saja ia terkejut, bagaimanapun juga Bian adalah anak Tama yang paling penurut di antara yang lain. Bagaimana bisa anak itu melanggar peraturan terbesar dari ayahnya, jika larangan-larangan kecil saja selalu Bian taati. 

"Lo udah tahu lumayan lama tapi lo baru bilang sekarang?" Tanya  Juna pada Satria dengan nada yang sengaja ia tinggikan.

 "Gue emang salah, Bang. Gue salah karena gak langsung bicarain ini  sama lo dan malah nyimpen semuanya sendiri."

"Kalau kaya gini gue juga bingung mau bujuk ayah gimana."

Satria dan Juna terduduk lesu di ruang keluarga. Keduanya sedang memikirkan cara untuk membujuk sang ayah agar mau memaafkan Bian. Sejujurnya, Juna juga dalam keadaan sangat kecewa pada sang adik tetapi, bukan berarti dia bisa menambah beban yang dipikul Bian dengan ikutan mendiamkan anak itu. 

"Gak usah bujuk ayah, Bang, Kak. Gue gak bisa terus-terusan sembunyi di balik kalian. Gue udah dewasa, apa yang gue perbuat harus gue tanggung sendiri," ucap Bian tiba-tiba dengan suara seraknya yang datang dari arah tangga. Anak itu nampak kesulitan menuruni tangga mengingat bahwa tubuhnya belum baik-baik saja. Melihat hal itu, Satria langsung cekatan membantu Bian turun.

"Lo masih sakit, kenapa turun sih?" Omel Satria masih dengan posisi membantu Bian.

"Gue udah gak kenapa-napa, Kak. Ini tinggal lemesnya doang."

"Ya makanya itu, lo masih lemes kenapa turun segala!"

Bian mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Satria. Ya, kan dirinya sangat bosan di dalam kamar sendirian. Satria juga tidak peka sama sekali, Bian kalau sakit tidak mau ditinggal sendirian di dalam kamar. Setelah membantu Bian duduk di sebelah Juna, Satria juga ikut duduk di depan mereka. Tiga bersaudara itu saling tatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya Juna angkat suara.  

"Sejujurnya, lo kenapa sampai nyentuh benda itu sih, Bi?" tanya Juna sedikit frustasi.

"Maaf, Bang."

"Permintaan maaf itu harusnya lo tujuin ke diri sendiri, Bi. Bukan ke gue, Satria, ataupun ayah.  Lo tahu kan, kenapa ayah melarang kita untuk mendekati benda itu, demi kebaikan kita sendiri, Bi."

"Iya Bang, gue tahu gue salah. Gak seharusnya gue ngelakuin itu. Gue janji gak bakal ngulangi lagi."

Juna tak langsung menjawab melainkan menatap adiknya dalam, mencari sebuah celah yang mungkin saja terlewat olehnya. Mata Bian begitu mirip  dengan sang bunda, tentu saja Juna tidak akan mampu untuk marah dengan pemilik mata itu, apalagi selama ini manik itu bagaikan permata yang ingin selalu Juna jaga agar tidak ada air yang membasahinya. 

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Bi. Sebenarnya ada apa? Lo gak mungkin cuma iseng kan?"

Bian kembali diam, tak berani menatap manik coklat milik Juna. Ia takut jika dengan jujur nantinya, hanya akan menambah kemarahan sang abang. Alasannya memang konyol, mungkin saja jika dia mengatakan yang sejujurnya, Juna maupun Satria akan mengatainya bodoh. 

"Bang, boleh gak kalau untuk alasannya gak usah dibahas?"

"Gak bisa gitu dong, Bi," Satria menengahi. Cowok itu menatap sang adik dengan intens, "Gimana kita bisa cari solusinya supaya lo gak kecanduan, kalau lo aja gak mau cerita akar permasalahannya."

"Gue janji, Kak. Gue bisa pastiin kalau gue gak akan ngerokok lagi."

Baik Satria dan Juna menghela napas kasar secara bersamaan. Adik mereka satu ini memang sangat keras kepala, mungkin saja keluarga ini dipenuhi oleh manusia-manusia berkepala batu. Makanya, tidak ada yang mau mengalah dalam sebuah perdebatan. Tapi, sekeras-kerasnya Juna dan Satria, pasti akan tetap kalah dengan si anak tengah ini. 

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now