Beranda yang Semakin Suram

676 117 24
                                    

Netra yang semula terpejam itu perlahan terbuka. Ia berusaha memfokuskan pandangan ketika cahaya menusuk retinanya. Bian mendapati sang kakak tengah menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ia pahami. Di sebelahnya ada Hasta yang lebih ekspresif. Terbukti ketika ia membuka mata, sahabat kakaknya itu langsung berujar dengan penuh kelegaan, "Akhirnya lo sadar juga, Bi!" Seru Hasta dengan mendekatkan diri pada Bian.

Sedangkan Satria masih bungkam, dengan tatapan yang juga konsisten. Bu Intan yang melihat bahwa pasiennya telah bangun itu mendekat ke arah Bian.

"Kamu napasnya udah mendingan atau belum?" Tanya Bu Intan dengan pelan.

"Sudah, Bu," jawab Bian dengan suara sedikit serak.

Bu Intan mengangguk lantas melepas nasal kanul yang sedari tadi bertengger di hidung anak itu. Kemudian beliau menyimpan kembali tabung oksigen ke dalam lemari penyimpanan yang ada di ruang UKS.

"Kak, gue tidurnya lama ya?" Tanya Bian entah kepada Hasta atau kepada Satria.

Mendengar pertanyaan dari Bian yang tak tahu ditujukan kepada siapa itu, Satria berinisiatif untuk menjawabnya, "Enggak. Lo tunggu bentar," ujarnya yang kemudian melenggang entah ke mana.

Bian mengerutkan keningnya melihat kepergian Satria. Ia baru saja akan bertanya kepada Hasta, namun sahabat sang kakak itu sepertinya langsung peka. Alhasil Hasta lebih dahulu menjawab pertanyaan yang belum sempat Bian lontarkan.

"Paling dia beli makan atau minum gitu. Tuh anak denger lo pingsan langsung lari dari aula atas. Iya sih mukanya kaga kelihatan kaya orang khawatir, tapi pas lo masih merem, tuh anak udah kaya mayat hidup!"

Hasta menjelaskan secara panjang lebar bagaimana tadi paniknya Satria saat mendapat kabar bahwa Bian dibawa ke UKS dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Satria meninggalkan ruangan seminar dan berlari menuruni anak tangga dari lantai tiga, tempat aula atas berada. Bahkan Satria benar-benar pucat pasi ketika melihat mata adiknya terpejam. Jika saja Bu Intan tidak segera memberi penjelasan bahwa Bian tengah tidur, Satria akan langsung membawa adiknya ke rumah sakit.

Mendengar penjelasan Hasta membuat Bian tersenyum tipis. Entah Hasta terlalu melebih-lebihkan atau memang benar begitu keadaannya, yang jelas Bian sedikit senang mendengar bahwa Satria khawatir padanya.

Dan benar saja seperti yang Hasta duga tadi, Satria kembali dengan menenteng bubur ayam beserta air mineral. Bian menebak bahwa bubur ayam yang dibawa sang kakak itu berasal dari seberang sekolah mereka.

"Makan dulu. Kata Johan lo belum sempat makan," ucap Satria sembari menyodorkan bubur yang tadi ia beli.

"Thanks kak."

Bian menerima bubur pemberian sang kakak lantas melahapnya dengan sangat hati-hati. Bukan apa, tubuhnya masih sangat lemas apalagi suhu tubuhnya mulai naik yang artinya ia terserang demam. Selesai makan— yang hanya separuh— Bian menatap sang kakak yang sedari tadi tidak melepaskan pandangan darinya.

"Kenapa kak?"

"Kita pulang sekarang!"

"Tapi kan ... "

"Lo sakit, mau ngapain juga di sekolah? Mau di UKS sampai jam pulang? Mending balik aja."

Bian diam, yang diucapkan kakaknya itu benar. Tubuhnya memang sedang tidak memungkinkan untuk kembali ke kelas, jadi untuk apa dirinya memaksa berada di sekolah. Akhirnya Bian mengangguk menyetujui saran dari sang kakak.

"Gue anterin surat dispensasi ke kelas dulu!" Ucap Hasta yang langsung tancap gas menuju ruang BK meminta surat dispensasi, lantas lanjut ke kelas Bian.

Bian hendak turun dari ranjang namun ia dikejutkan dengan Satria yang menunduk tepat di depannya. Bian awalnya tidak paham dengan maksud Satria sebelum pada akhirnya saudaranya itu buka suara.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now