Everything Has Changed

977 171 36
                                    

Satria benar-benar memegang ucapannya. Sudah tiga hari anak itu menghindari Bian. Ia selalu berangkat sangat pagi dengan alasan bahwa jadwal pendalaman materi dialihkan di pagi hari. Satria juga selalu pulang larut dengan alasan belajar di rumah Hasta. Mengenai dirinya yang bekerja paruh waktu, memang hanya Bian yang tahu. Dengan seperti itu, kesempatan Bian bertemu dengan Satria akan sangat tipis.

Selama tiga hari itu juga, Bian belum memiliki keberanian untuk mengatakan kebenaran di depan keluarganya. Kemarin Tama pulang dari Lombok dan langsung mengurus keperluan Kai untuk kembali ke sekolah. Semakin ciut nyali Bian ketika melihat wajah kusut sang ayah. Ia tidak mau memancing kemarahan Tama, belum lagi mereka baru saja berbaikan.

"Bian, hari ini Kai masuk sekolah lagi, tolong jagain adikmu, ya!" Pinta Tama pada Bian.

Yang diajak bicara hanya mengangguk sebagai jawaban. Kenapa Bian yang harus menjaga Kai? Tentu saja karena bagi Tama, dia tidak mau merepotkan Tian yang sedang fokus mengikuti Olimpiade Sosiologi yang diadakan oleh salah satu universitas. Kegagalan Tian beberapa waktu lalu pasti membuat anak itu kecewa. Oleh karena itu, Tian pasti sedang berusaha sangat keras agar bisa mencapai tujuannya.

Sedangkan Satria, tentu saja Tama tidak mau mengganggu waktu anak keduanya karena Satria sudah kelas dua belas semester akhir. Ujian semakin dekat sehingga anak itu pasti sangat kerepotan untuk mempersiapkan segalanya. Dengan demikian, di antara semua anaknya, nampaknya hanya Bian yang bisa ia andalkan untuk menjaga Kai.

"Hasil pemeriksaan kamu belum keluar?" Tanya Tama setelah mengingat beberapa waktu lalu Juna membawa Bian untuk periksa.

"Belum, Yah. Pihak rumah sakit juga belum menghubungi bang Juna."

"Ya sudah, nanti biar Ayah bicara sama abangmu. Semoga hasilnya besok udah keluar, sekalian soalnya besok abang ada jadwal tetapi."

Bian mengangguk paham. Lantas detik berikutnya ia mengingat satu hal, "Yah, nanti Bian pulang sore karena ada latihan futsal."

Mendengar apa yang Bian katakan membuat Tama menaikkan satu alisnya. Ditatapnya sang anak selama beberapa detik sebelum kemudian kembali bersuara.

"Terus adik kamu pulang sendiri?"

"Tapi Yah, ada Pak Danu sama Tian, kan?"

"Ayah ngasih tanggung jawab ke kamu loh Bi, kok kamu malah ngelempar ke Tian."

"Tapi, Yah ..."

"Kalau kamu mau latihan, antar adikmu pulang dulu, baru kamu bisa balik ke sekolah buat latihan futsal. Kalau Ayah gak lagi sibuk ngurusin kerjaan di kantor, Ayah pasti jemput sendiri adikmu. Karena Ayah sibuk makanya Ayah minta tolong sama kamu."

"Maaf, Yah."

Bian menunduk, ia bukan tidak mau mengantar adiknya pulang terlebih dahulu. Tapi jika Bian bolak-balik pasti akan memakan waktu yang sangat lama, tentu saja ia akan terlambat nanti. Tapi mau bagaimana lagi, sang ayah juga sedang sibuk dan tanggung jawab ini diberikan padanya untuk sementara waktu.

"Sudah, ayo kita ke meja makan, pasti yang lain udah nungguin."

Bian mengekor langkah Tama sampai ke meja makan. Di sana ia dapat melihat wajah cerah milik si bungsu. Kai terlihat lebih segar daripada biasanya. Hal itu mungkin karena ia bisa menghirup udara segar kembali. Tentu saja, berada di dalam rumah sepanjang waktu pasti membuatnya frustasi.

"Bang, hari ini ada kelas?" Tanya Juna ketika sampai di meja makan.

"Ada, Yah. Nanti Wahyu sama Yasmin jemput jam sepuluh."

Tama mengangguk, lantas sarapan dimulai. Tian makan dengan sedikit tidak tenang. Ia curiga terhadap sikap Satria yang terkesan menghindar. Entah apa yang terjadi pada sang kakak, tapi Tian yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Menjaga BintangWo Geschichten leben. Entdecke jetzt