Rumah

1.4K 235 29
                                    

Pagi menyapa, rutinitas keluarga berjalan seperti biasa. Bibi Lasti menyiapkan sarapan, sedangkan semuanya berkumpul di meja makan.  Sembari menunggu, seperti biasa Tama akan bercengkerama dengan anak-anaknya.

"Bang, kuliahnya lancar kan?" Tanya Tama pada putra pertamanya.

"Lancar, Yah. Cuma kadang bosan aja sama tugas yang numpuk hehe."

"Ayah dulu juga gitu kok. Gak papa, kalau capek istirahat."

Juna mengangguk. Ayahnya tidak pernah memaksakan kehendak tentang kehidupannya. Bahkan sebenarnya Tama menyarankan agar Juna cuti terlebih dahulu semester ini. Tama tahu bahwa Juna terkadang kewalahan membagi waktu antara kuliah dan mengurus adik-adiknya. Tapi Juna menolak karena ia tidak mau menghindar dari tanggung jawab.

"Kak satria gimana?" Kali ini Tama bertanya pada Satria. Anak itu memang tidak mau dipanggil Bang, soalnya nanti panggilannya sangat tidak enak didengar.

"Capek Yah. Otakku rasanya mau meledak. Baru juga awal semester udah kaya gini. Lagian, aku kan IPS kenapa harus belajar matematika juga, sih? Terus apa gunanya kalkulator kalau harus belajar matematika?"

Tama tertawa mendengar penuturan Satria. Anaknya satu itu memang sangat membenci matematika, meskipun sebenarnya dia tidak buruk juga dalam hal itu. Hanya saja, bagi Satria menghafalkan rumus itu sebuah kesia-siaan belaka. Ingat, itu menurut Satria, ya!

"Kak kamu ada-ada aja. Matematika juga berguna di kehidupan sehari-hari. Udah, tahan dulu. Bentar lagi juga lulus, Kak."

"Ntar aku mau kuliah Sastra Inggris aja, biar jauh-jauh dari matematika."

"Iya terserah Kakak deh," Tama masih terkekeh menanggapi Satria. Menurutnya, Satria itu lucu walaupun sedang kesal. Tapi, jangan pernah ganggu Satria saat dia sedang marah. Anak itu bisa menjadi kejam kepada siapapun.

"Kalau Bian?"

Kini Tama mengalihkan atensinya pada Bian, anak tengahnya. Seperti biasa, Bian hanya mengangguk dan menjawab seadanya. Ia hanya akan mengatakan, "Baik, Yah." Hanya dua kata itu.

Tama pun tidak mau bertanya lebih jauh. Ia merasa anaknya itu butuh privasi. Iya, mungkin Bian tipe orang yang tidak suka jika ditanya-tanya, makanya kalau anak itu tidak mau cerita, Tama tidak pernah memaksa.

"Kai kemarin ditembak kakak kelas, Yah!"

Dan seperti biasa pula, Kai akan bercerita sebelum ia ditanya. Anak itu memang kebalikan dari Bian, suka bercerita mengenai apapun yang ia alami di sekolah.

"Beneran, Kai? Gila, banyak banget yang suka sama lo!" Satria berdecak kagum. Ia tidak menyangka bahwa adiknya seterkenal itu di SMA Putrayasa. Iya, secara Satria saja tidak setenar itu padahal ia pernah menjabat sebagai wakil ketua basket.

"Ya gimana lagi, kan gue emang keren. Siapa sih yang gak kenal Karafilo, lo tanya sama anaknya Bu Suci, dia pasti tahu."

"Ya jelas anaknya Bu Suci kenal sama lo, dia kan ketua divisi lo!" Kali ini Tian yang menyahut.

Kai memang keren, Kai juga mudah bergaul dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat siapapun nyaman berteman dengannya. Oh iya, untuk sekadar informasi bahwa Bu Suci itu guru ekonomi di kelas Satria. Seorang guru yang tidak pernah akur dengannya karena beliau sering memberi tugas yang beranak-pinak.

Lagi dan lagi, Tama tertawa menyaksikan tingkah anak-anaknya. Keluarganya memang berwarna dengan kehadiran lima anak yang memiliki karakter masing-masing.

"Hari ini Ayah berangkat ke Lombok, kalian di rumah jangan bikin rusuh, ya! Nurut sama Bang Juna, kasihan abang juga harus mikir kuliah selain jagain kalian." Tegas Tama setelah selesai dengan tawanya.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now