Keberadaan dan Waktu

956 181 30
                                    

Sudah tiga hari Satria berangkat bersama Hasta, sejak itu juga ia jarang bertegur sapa dengan Bian karena sudah tiga hari juga Bian pulang ke rumah ketika matahari sudah tak menunjukkan senyumnya. Jika Satria berangkat bersama Hasta, maka Bian lah yang pulang bersama cowok itu. Posisi Hasta sekarang sudah seperti supir pribadi mereka.

Namun hari ini sepertinya Bian tidak memiliki jadwal latihan sehingga cowok itu bisa pulang bersama Tian juga Satria. Hari ini juga memang jadwal dua cowok itu kontrol ke rumah sakit dan rencananya mereka sekaligus menjenguk Juna dan melihat perkembangan Kai.

Tama bahkan tidak pernah pulang ke rumah demi menjaga dua anaknya di sana. Sebenarnya dia bisa saja pulang namun Kai selalu mencegahnya. Kai tidak bisa ditinggal karena ia selalu merasa ketakutan apalagi jika harus ditinggal bersama Juna. Tama juga sudah menghubungi psikolog untuk membantu putra bungsunya.

"Kak Bi, lo ikut ke rumah sakit, gak?" tanya Tian yang duduk di samping Bian.

Sekarang mereka tengah berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Tian dan Bian duduk di kursi tengah sedangkan Satria duduk di sebelah Pak Danu--supir mereka.

"Ikut," jawab Bian singkat.

"Ya udah nanti sampai rumah langsung ganti baju aja kalau gitu."

Mendengar hal itu Bian mengangguk singkat. Detik berikutnya ia memandang Satria yang sedari tadi hanya diam. Ia segera memulai percakapan dengan sang kakak yang akhir-akhir ini jarang ditemuinya.

"Kak kalau perlu bantuan bilang gue, ya."

"Bantuan apa maksudnya?" tanya Satria yang memandang Bian melalui kaca.

"Apapun, Kak."

"Gue cuma keseleo ya Bi, bukan lumpuh!"

Mendengar jawaban sang kakak membuat Bian terdiam. Sepertinya ia kembali salah bicara hingga membuat kakaknya itu tersinggung. Lain lagi dengan Tian. Mendengar jawaban satria yang membuat telinga panas itu, ia langsung melebarkan matanya.

"Kak Sat lo kenapa sih? Kak Bian kan cuma nawarin bantuan. Kalau lo ngerasa gak butuh bantuan seenggaknya lo nolaknya lebih halus!"

"Itu juga udah halus kali, Yan. Lo juga kenapa sih baper amat. Si Bian aja diam, lo kenapa nyolot!"

"Hus, kenapa kalian jadi berantem sih. Kalian itu saudara harus akur dong," Sela Pak Danu yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran antar saudara itu.

Ketiganya diam mendengar pernyataan Pak Danu. Satria memfokuskan pandangannya pada jalanan, Tian yang masih menatap tajam ke arah Satria, dan Bian yang tenggelam dalam pikirannya dengan mata yang juga masih tertuju pada Satria.

Sesampainya di rumah, mereka masih diam. Meski begitu, Bian tetap membantu Satria berjalan dan Satria juga membiarkan dirinya dibantu oleh sang adik. Sebenarnya dia tidak ingin dibantu oleh Bian tetapi entah kenapa perkataan Pak Danu sebelum sampai di rumah tadi membuat rasa takut singgah di hatinya.

"Kalian jangan sampai kaya bapak. Dulu saya sering bertengkar dengan kakak saya, lalu sepuluh tahun lalu kakak saya meninggal. Sejak saat itulah bapak merasa bersalah dan menyesal. Tidak seharusnya saya bertengkar dengan saudara sendiri."

Perkataan pak Danu itu benar-benar memukulnya. Entah kenapa ia takut jika kejadian seperti itu menimpanya. Kalau saja dia yang pergi, maka tidak apa-apa tapi jangan sampai ia yang ditinggalkan. Sudah cukup rasa sakit ditinggalkan oleh Bunda. Ia tidak mau kehilangan abang atau adik-adiknya.

"Bi, maaf ya kata-kata gue tadi nyakitin lo," ucapnya pada sang adik.

Jujur, Satria juga merasa akhir-akhir ini ia sering berbuat kesalahan pada adik-adiknya terlebih pada Bian. Tapi semakin ia sadar tentang kesalahannya, Satria justru tidak bisa mengendalikan emosinya. Amarah itu kembali hadir seperti tanpa diundang, masuk dan membaur dengan hembusan napasnya.

Menjaga BintangKde žijí příběhy. Začni objevovat