Little Big Mistake

1.3K 190 40
                                    

"Satria ada masalah apa, Nak?" tanya Tama ketika melihat Satria keluar dari kamarnya. Saat ini tengah malam, semuanya sudah tidur namun tidak dengan Tama. Tadi ia sengaja menunggu anak-anaknya yang lain tidur untuk mengutarakan keresahan hatinya. 

"Maksud Ayah apa?" Satria balik bertanya. 

Satria menggosok kepalanya yang basah menggunakan handuk. Ia baru saja selesai mandi setelah menyelesaikan tugas sekolah. Pekerjannya di Kafe membuat ia sedikit kewalahan dengan tugas-tugas sekolah. Namun hal itu tidak sepenuhnya mengganggu karena di tempat kerja ia bisa berinteraksi dengan rekan-rekannya yang asyik. Satria sering mendapat pengalaman baru dari cerita-cerita rekan kerjanya, juga dari kak Fariz.

"Kamu kok hampir tiap hari pulang malam, marah sama Ayah?"

"Enggak, Yah. Satria gak marah sama Ayah, kok."

"Kamu pulang malam bukan karena kerja kelompok, kan? Soalnya Ayah selalu lihat kamu masih ngerjain tugas di kamar sampai tengah malam." 

Ada sedikit kecurigaan yang tersirat di mata Tama. Tentu saja, ia selalu melihat wajah lelah Satria setiap kali pulang, ditambah anak itu tidak segera tidur melainkan mengerjakan tugas hingga tengah malam. 

"Yah, aku mau jujur tapi jangan marah, ya."

"Ada apa, Sat?"

"Sebenarnya ... sebenarnya aku kerja, Yah,"  

"Kak, kenapa? kamu lagi butuh sesuatu, kenapa gak ngomong sama Ayah?"

"Bu-bukan, Yah ... Satria cuma pengen nambah pengalaman aja."

Tama diam sejenak. Ia tidak menyangka jika putra keduanya akan bekerja di sela-sela kesibukannya di sekolah. Terlebih, sejauh yang ia tahu bahwa Satria termasuk orang yang ambisius dalam mengejar nilai --kecuali matematika. 

"Kamu gak ngerasa terganggu?"

"Enggak, Yah. aku malah seneng bisa dapat pengalaman baru."

Akhirnya tama mengangguk meski sejujurnya ia tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Satria. Bagi Tama, untuk saat ini tugas anak-anaknya itu belajar demi meraih cita-cita. Mereka belum saatnya terjun ke dunia luar yang keras. 

Tidak mendapati pertanyaan lanjutan dari sang ayah, Satria memutuskan untuk masuk ke kamar. Badannya sudah sangat lelah ditambah kasur kesayangannya sudah memanggil sejak tadi. Tama yang mengerti keadaan anaknya itu segera memberi izin.

Laki-laki dewasa itu tidak langsung tidur karena pikirannya berkelana entah ke mana. Ada begitu banyak tanya yang bermunculan selepas percakapannya dengan Satria barusan. Keresahan yang tadinya cukup menyesakkan, kini semakin beringas menyiksa batinnya. Apa putra-putranya sudah sedewasa itu? Benarkah putra-putranya akan baik-baik saja jika tanpa ada dia? Banyak ketakutan menghampiri Tama, terlebih saat terlintas pemikiran ketika ia tiada nantinya. Siapa yang akan menemani putra-putranya? Jika Tuhan mengizinkan, Tama ingin tetap berada di samping lima bintangnya untuk waktu yang lama. Sampai ketika ia menggendong buah hati mereka.

Lamunan Tama dibuyarkan oleh suara batuk dari arah kamar salah satu putranya. Laki-laki itu melangkahkan kaki, perlahan membuka kamar sang anak. Di sana, ia melihat buah hatinya tidur dengan tidak tenang. Ternyata dugaan Tama benar, ketika telapak tangannya menyentuh dahi sang anak, ia merasakan suhu yang tinggi. 

"Bi, badan kamu panas. Ayah ambilin obat dulu, ya."

Bian tidak menjawab ucapan sang ayah karena masih sibuk dengan rasa sakitnya. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup. Kepalanya seperti akan pecah, pandangannya berputar jika Bian memaksa membuka matanya. Batuknya juga tidak mau berhenti dan tiap kali ia batuk, denyutan di kepalanya semakin menjadi.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now