Kontradiksi

836 153 35
                                    

(Anggap part ini pemanasan ya hehe)

||
|


Sudah satu minggu Bian di rawat di rumah sakit, selama itu juga ia harus bertarung dengan rasa bosan yang terus mengganggunya. Apalagi ketika Juna ada kelas pagi, Bian akan benar-benar sendiri di ruang rawatnya. Sejujurnya ia ingin protes kepada sang ayah, kenapa ia dipilihkan ruang rawat yang hanya berisi satu pasien saja. Andai saja ada pasien lain pasti ia tidak akan sebosan ini.

Beberapa pemeriksaan juga telah ia lakukan seperti yang disarankan oleh dokter juga sang ayah. Bian bukanlah manusia bodoh yang tidak tahu menahu perihal beberapa pemeriksaan yang ia lakukan. Sejujurnya ia sangat takut mengenai hasilnya tetapi ia tidak mungkin lari dari kenyataan. 

Tentu saja ia juga tahu bagaimana keadaan tubuhnya selama ini. Bohong jika ia bilang baik-baik saja, bohong jika ia tidak sadar bahwa dirinya mengalami kejanggalan. Ia sengaja membiarkan semua itu dan bersikap untuk positif. Kalaupun ia tidak baik-baik saja, setidaknya ia tidak tahu. Terkadang mengetahui sesuatu akan membuat seseorang jatuh dalam pemikiran negatif yang nantinya malah mengacaukan segalanya. Ya, begitulah pemikiran Bian selama ini.

Kini Bian sedang menunggu kedatangan Juna yang katanya akan menggantikan sang ayah hari ini untuk menjaga dirinya. Selain Juna dan Ayah, tiga saudaranya tidak ada yang pernah mengunjunginya. Satria juga belum datang lagi semenjak hari pertama ia dirawat. Bian tidak pernah menanyakan itu baik kepada ayah maupun Juna karena ia menduga bahwa Satria pasti sibuk dengan tugasnya mengingat sang kakak sudah kelas dua belas. Untuk Tian dan Kai, mungkin saja mereka memang sama-sama sibuk.

Orang yang ditunggu akhirnya tiba, namun kali ini Juna tidak sendiri melainkan bersama Satria. Baru saja Bian memikirkan saudaranya itu, akhirnya muncul juga. Jika melihat wajah cerah dua saudaranya, Bian bisa mencium kabar gembira. Mungkin saja dia sudah diperbolehkan pulang hari ini. Ya, pasti itu kabar baiknya. 

"Sorry baru bisa datang lagi," celetuk Satria yang langsung duduk di sebelah ranjang Bian. 

Sedangkan Juna memilih untuk bersandar di sofa, melemaskan kakinya yang sedikit kaku karena berjalan cukup jauh. Kaki Juna memang sudah membaik namun belum sembuh sepenuhnya.

"Gak papa, Kak. Gue tahu lo sibuk, mau ujian juga kan."

"Bi, masalah sekolah lo ... " Kali ini Juna yang berbicara, namun ia tidak langsung menyelesaikan kalimatnya membuat Bian sedikit cemas.

"Gue lupa kalau ada masalah di sekolah," Bian menepuk jidatnya kasar lalu kembali berujar, "Gue diskors? panggilan orang tua kan pasti? atau malah gue dikeluarin?" 

Satria yang mendengar pertanyaan beruntun dari Bian itu tersenyum gemas karena sang adik tidak memberikan jeda pada Juna untuk menjelaskan terlebih dahulu. Satria sengaja menahan tawanya agar tidak meledak namun gagal ketika melihat tampang kesal Juna.

"Ha ha ha. Slow dulu napa Bi, Bang Juna mau jelasin kepotong lo terus noh."

Mendengar pernyataan dari sang kakak, membuat Bian langsung diam patuh. Kali ini ia membiarkan Juna menjelaskan permasalahan yang ingin ia sampaikan tadi.

"Lo emang sempet dapat skorsing dan terancam dikeluarin. Tapi, Johan kemarin berhasil bikin Haikal ngaku kalau lo gak ikutan rencana mereka dan bahkan mengakui kalau sebenarnya lo itu korban. Nama lo bakal bersih lagi dan bisa sekolah kaya biasanya."

Penjelasan panjang Juna membuat bulan sabit tercipta di wajah Bian. Ia merasa beban di dadanya seperti diangkat begitu saja, sangat lega. Jika ia benar-benar dikeluarkan, Bian tidak berani menghadapi siapapun termasuk ayahnya. Ia tidak ingin menambah lagi kekecewaan pada keluarganya. 

Menjaga BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang