The Dream

891 172 51
                                    

Waktu berlalu begitu cepat. Besok adalah hari yang mendebarkan untuk Bian. Iya, besok merupakan hari pertandingan yang ia nanti-nantikan. Juna sudah diperbolehkan pulang, tetapi masih harus duduk di atas kursi roda sampai ia mendapatkan jadwal terapi rutin untuk berjalan. Sedangkan keadaan Kai, anak itu masih harus mendapatkan pengawasan penuh dan terpaksa menjalani pembelajaran di rumah dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Ia masih menjadi murid SMA Putrayasa, hanya saja Kai harus dinon-aktifkan dari seluruh kegiatan organisasi yang ia ikuti. Ini semua demi kebaikannya.

"Bi, Ayah dengar besok kamu ada pertandingan final, ya?" Tanya Tama saat dirinya, Kai, Bian, dan Juna berkumpul di ruang keluarga.

"Iya, Yah."

Ruang keluarga itu seakan sepi, padahal sudah ada empat orang di sana. tetapi kurangnya dua orang seperti memberi lubang yang besar. Tian sedang berada di kamar mengerjakan tugas, sedangkan Satria entah ada di mana. Sudah sejak pagi Satria belum pulang. Tama sempat bertanya pada Juna, tapi kata Juna mungkin Satria sedang bersama Hasta.

"Waktu itu gue janji sama lo bakal datang. Maaf ya, gue gak bisa nepatin janji," kali ini Juna berkata dengan rasa bersalah.

"Gak papa, Bang. Lo jangan merasa bersalah."

"Besok Ayah yang datang," sela Tama dengan senyumnya.

"Makasih, Yah."

Percakapan selesai sampai di situ, karena semuanya fokus pada acara yang mereka tonton di televisi. Padahal, entah acara itu menarik atau tidak, mereka hanya asal menonton.

"Yah, besok Kai ikut nonton, boleh?" tanya si bungsu menatap sang ayah dan Bian secara bergantian.

"Emangnya gak papa?"

"Gak papa, sekalian Kai mau nyoba batasan Kai."

Tama akhirnya mengangguk, lalu beralih menatap Bian yang sudah kembali fokus pada layar televisi. Jika dipikir, Bian, Satria, dan Tian kurang mendapat perhatiannya akhir-akhir ini.

Selama beberapa waktu, Tama fokus pada pengobatan Juna dan Kai di rumah sakit. Selain itu, banyak desain rumah yang belum ia selesaikan, makanya di rumah sakitpun Tama masih menyempatkan untuk merampungkan semua itu.

Tentu saja untuk orang tua tunggal, sangat sulit untuk mengatur segalanya sendirian. Tama menyadari bahwa ia belum menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya.

"Ayah kenapa?" Tanya Juna membuat pria itu sedikir terkejut.

"Kenapa, Bang?"

"Kenapa Ayah ngeliatin Bian kaya gitu?"

Mendengar namanya dipanggil, Bian menoleh ke ayahnya dengan tatapan penuh tanya.

"Enggak, Bang. Ayah cuma heran kok kayanya Bian makin kurus."

'Kena lagi!'

Diam-diam, Bian merasa jengkel jika ayah atau abangnya sudah membahas berat badannya. Jujur, Bian sendiri juga tidak tahu kenapa berat badannya terus menurun akhir-akhir ini.

"Kak, lo perasaan makannya tetap banyak deh, kok bisa makin kurus?" Kai bertanya dengan polos.

"Mungkin karena gugup," jawab Bian asal. Tentu saja, gugup dengan berat badan itu tidak ada kaitannya. 

"Kak, gue emang bukan jurusan IPA, tapi emang kaya gitu ada hubungannya, ya?"

"Ada, gue buktinya. Yah, aku ke kamar dulu, ya."

Semua yang ada di sana menatap kepergian Bian dengan heran. "Bian ngambek gara-gara Ayah sama Kai body shaming kayanya." Celetuk Juna mengalihkan perhatian supaya Tama dan Kai tidak cemas.  Juna berspekulasi mungkin Bian memang tidak mau membahas masalah berat badannya yang semakin turun.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now