Broken Wings

965 171 45
                                    

Juna memandang Bian tajam ketika mereka bertemu di ruang keluarga. Di belakang Bian, ada Tian yang was-was menyaksikan tatapan sang abang yang siap menerkam. Selain was-was dengan tatapan sang abang, ia sebenarnya harus berangkat cepat karena hari ini ia mengikuti seleksi olimpiade sosiologi. Tadinya ia ditawari Satria untuk berangkat bersamanya numpang di mobil Hasta, tapi Tian menolak karena tidak terlalu dekat dengan Hasta. 

"Bi, lo kenapa pakai seragam?" tanya Juna datar.

"Ke sekolah, Bang."

"Bukannya kemarin gue udah bilang kalau hari ini lo harus ikut gue, ya?"

Bian bukannya tidak ingat, ia hanya tidak mau menuruti perkataan sang abang. Sudah ia katakan jika ia baik-baik saja dan tidak perlu sampai ke rumah sakit. 

"Yan, lo berangkat duluan sama Pak Danu, aja! Bian ikut gue."

"Lo sama Kak Bian berangkat pake apa?" tanya Tian memastikan.

"Nanti Wahyu bakal datang. Lo buran berangkat aja."

Dengan ragu Tian keluar menemui Pak Danu yang sudah siap di dalam mobil. Sebenarnya Tian tidak tahu kenapa sang abang melarang Bian untuk sekolah, padahal tadi ia sempat mendengar percakapan Hasta dengan Bian jika hari ini akan ada pengumuman mengenai surat rekomendasi club futsal provinsi. 

Sedangkan di dalam rumah, giliran Bian yang menatap Juna tidak senang. "Bang, kenapa harus maksa sih?"

"Bi, ini demi kebaikan lo!"

"Gue udah bilang kalau gue gak papa, kan?"

"Apa salahnya buat mastiin kalau lo emang baik-baik aja. Di antara kita semua, cuma lo yang gak mau dibawa ke UGD kan?"

"Bang, lo tahu dar ..." Belum sempat Bian menyelesaikan ucapannya, Juna langsung menjawab.

"Gue sama Wahyu udah ke lokasi kecelakaan. Beberapa warga bilang kalau lo sadar sebelum ambulans datang dan lo lebih milih nemenin gue sampai ke rumah sakit. Jujur ke gue Bi, lo udah periksa atau belum?"

"Udah dan gue beneran gak kenapa-napa. Kalau lo gak percaya, suruh aja nanti dokter membedah kepala gue!"

Untuk pertama kalinya, Bian jengkel dengan sang abang. Bagaimana tidak, hari ini seharusnya menjadi hari yang penting untuknya karena Pak Bagas akan mengumumkan surat rekomendasi yang sudah beliau janjikan kepada beberapa anggota tim. Ia khawatir jika dirinya tidak hadir, bisa-bisa namanya akan dicoret dari daftar utama. 

Di sisi lain, Juna tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika adiknya masih tidak mau, bahkan Juna sudah menyuruh Wahyu untuk membawa tali untuk mengikat sang adik. Di tengah keheningan itu, Kai tiba-tiba turun dari kamarnya.

"Bang, minggu depan Kai mau masuk sekolah lagi," ucapnya seperti memohon pada sang abang.

"Lo yakin, Kai?"

"Gue cuma tinggal duduk di kelas aja, kan? Gue yakin gue bisa."

"Nanti malam ngomong sama ayah dulu, ya."

"Oke. Kalian mau ke mana?" Tanya Kai menatap abang dan kakaknya bergantian.

"Gue mau nentuin jadwal terapi," jawab Juna cepat. 

Kai beroh ria, lantas bergegas kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas. Kai mengikuti kegiatan belajar secara daring, dengan materi yang selalu dikirim oleh guru padanya, serta tugas-tugas yang juga dibuat melalui laman daring. Kai ingin segera bertemu teman-temannya, merasakan udara luar, karena jujur saja di rumah ia merasa tertekan. Mimpi buruk selalu menghampirinya ketika ia terpejam. 

Setiap mimpi itu datang, ingin rasanya ia berlari mencari keberadaan bunda, lantas memeluknya erat. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin, bukan? Bunda sudah tidak ada di sisinya lagi, wanita kesayangan semua orang itu sudah berada di tempat yang indah. Yang Kai bisa lakukan hanya bertahan melewati mimpi-mimpi itu tanpa pelukan siapapun. Hanya saja, terkadang ia masuk ke kamar Bian ketika sang pemilik tidak ada di sana. Menghirup aroma kamar Bian sedikit mengurangi ketakutan dalam dirinya. 

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now