Pengakuan

1K 168 34
                                    

Tarik napas ... Hembuskan

Part kali ini bakal banyak dialognya, semoga nggak mual ya :))

Selamat membaca!


🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Seharusnya kemenangan kemarin adalah hari membahagiakan untuknya. Seharusnya, Ia bisa tersenyum sedikit lebih lebar dari hari-hari sebelumnya karena setapak langkah sudah ia lewati untuk menggapai mimpi. Tapi kenyataannya, yang terjadi malah berkebalikan. Mimpinya semakin dekat tetapi kehangatan perlahan menjauh. 

Pagi ini Bian bangun dengan perasaan campur aduk. Tadi, ia sempat memeriksa ponsel miliknya dan ada sebuah pesan dari Juna. 'Turun, abang mau bicara.' Pesan singkat itu membuat perasaan Bian semakin tak keruan. Apa abangnya itu juga akan memarahinya perihal yang terjadi kemarin? Ia memang belum bertemu dengan sang abang karena setelah dari kamar Kai, Bian tidak keluar kamar sama sekali. Bahkan untuk malam saja, anak itu melewatkannya karena ketiduran. 

Ia segera turun untuk menuju ruang keluarga yang terletak di dekat kamar sementara Juna. Iya, sebenarnya kamar Juna terletak di sebelah kamarnya namun karena keadaan sang kakak tidak memungkinkan untuk naik--turun tangga, alhasil Juna harus menempati kamar tamu untuk semetara waktu. 

Tak sengaja Bian berpapasan dengan Satria yang juga akan turun. Namun ketika mereka bertemu pandang, Satria langsung memutus kontak mata dengannya. Sepertinya Satria masih kesal dengan Bian.

Di bawah ternyata sudah ada Tian dan juga Kai. Oh, Bian tahu, sepertinya abangnya memang sengaja mengumpulkan semua orang. Hari ini Bian tidak yakin, apakah masalah akan selesai atau malah Ia akan dihakimi habis-habisan.

"Bi Lasti udah nyiapin sarapan, kita sarapan dulu aja, ya," Celetuk Juna ketika adik-adiknya sudah berkumpul.

Semua hanya mengangguk dalam diam lantas menuju meja makan. Bian dengan segera membantu Juna dengan mendorong kursi roda abangnya itu. Sesampainya di meja makan, mereka sarapan dengan tenang, seperti biasa. Tak ada perckapan bahkan suara dentingan sendok dan piring saja hampir tidak ada. 

Setelah sarapan selesai, Bian baru saja akan membantu Bibi Lasti untuk mencuci piring namun dicegah oleh Juna, "Bi, langsung ke ruang keluarga aja. Itu biar Bi Lasti yang nyuci." ucapnya pada Bian. Lantas Juna beralih memandang Bi Lasti, "Bi Lasti, maaf hari ini kita gak bantuin dulu, ya."

"Gak papa, Den," jawab Bi Lasti singkat. Asisten rumah tangga itu tentu mengerti apa yang sedang terjadi dengan keluarga ini. Makanya ia hanya menjawab seadanya karena canggung.

"Bian, bisa jelasin apa yang terjadi?" tanya Juna memulai pembicaraan.

"Maaf."

"Gue gak perlu permintaan maaf lo, Bi. Gue cuma perlu lo jelasin semuanya. Kalau lo diem aja, gue juga bakal ikut nyalahin lo."

Dalam situasi ini, Bian malah bingung harus menjawab apa. Tatapan tajam dari Satria, tatapan melas milik Kai, tatapan datar Tian -- meski Tian selalu datar --, dan tatapan Juna yang penuh tanya, membuat Bian gelisah.

"Sampai kapan lo liatin kita satu-satu kaya gitu?" Tanya Satria masih dengan tatapan dinginnya.

"Kak, Sat! lo jangan nambahin suasana makin panas deh. Kalau lo kaya gitu, Kak Bian jadi makin ragu buat jawab," ujar Tian berusaha membuat Satria bungkam.

"Kenapa? Dia bukan anak kecil lagi yang kalau digertak harus ketakutan, kan?"

"Sat, lo diem dulu. Selain Bian, gak boleh ada yang ngomong!" Putus Juna menghentikan keributan. Ia tidak mau jika Satria semakin menjadi nantinya.

Menjaga Bintangحيث تعيش القصص. اكتشف الآن