Sebuah Kebenaran

861 170 40
                                    

Pada akhirnya, semua pasti akan kembali seperti semula. Itulah yang Juna tanamkan di dalam sanubarinya. Tentang ayah yang mendiami Bian, tentang Bian yang menjadi tidak bersahabat pada siapapun. Selama ini, mereka mampu melewati pertengkaran apa pun yang terjadi. Meski sudah terhitung hampir sepekan ayah dan Bian tidak saling sapa, namun Juna masih menaruh harap lebih. 

Kini ia tengah duduk lemas di ruang keluarga. Sepi tak hanya menyusuri sudut rumah namun juga merasuk tiap persendiannya. Kakinya sudah mulai membaik, namun hatinya harus menggantikan posisi kesakitan itu. Sebagai anak tertua, ia merasa gagal mengawasi adik-adiknya, ia juga merasa gagal karena tidak mampu meredam kemarahan sang ayah. Gelar "abang" yang ia sandang membuatnya malu karena sejauh ini banyak kegagalan yang ia temui. Janjinya pada diri sendiri, pada sang bunda, pada ayah, dan adik-adiknya seperti tak sanggup ia tepati. 

"Abang, ngapain sendirian di sini?" tanya seseorang dari arah depan membuat Juna sedikit terlonjak. Ia mendapati Tian lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel pada tubuhnya. 

"Gak ada kelas lagi. Lo sendiri masih jam segini kenapa balik?" 

"Gue dibolehin balik dulu karena besok bakal ikut olimpiade yang diadain kampus lo, Bang. Meskipun kemarin gak lolos seleksi Olimpiade Nasional, nilai gue termasuk tinggi makanya dikasih kesempatan untuk ikut yang ini."

Juna mengangguk paham. Olimpiade yang diadakan oleh kampusnya memang tidak sembarang orang bisa mengikuti karena harus mendapat surat rekomendasi dari sekolah masing-masing. Entah siapa yang mencetuskan ide seperti itu, tapi yang pasti baru tahun ini berlaku aturan semacam itu. 

"Bang, lo kenapa?" tanya Tian berniat memancing Juna.

"Gue kenapa?" Juna balik bertanya dengan bingung, pasalnya sang adik tiba-tiba bertanya dengan aneh. 

"Ada yang lagi mengganjal pikiran lo ya?"

Juna tak segera menjawab pertanyaan Tian. Sebenarnya ia sangat tidak ingin menambah beban siapa pun namun sepertinya ia juga membutuhkan tempat untuk berbagi keresahannya. Apalagi Tian adalah orang yang tidak bisa dibohongi. Mau sepandai apa pun ia mengalihkan pembicaraan, Tian akan tetap mengejarnya bahkan sampai ke sudut terdalam dunia. 

"Kamu nanya?" ejek Juna dengan nada dibuat-buat.

"Bang, jangan bercanda. Gue pelintir pala lo mau?"

Juna bergidik ngeri membayangkan Tian benar-benar memelintir kepalanya. Tentu saja Juna ngeri, otot Tian sudah menonjol sana-sini karena anak itu rajin olahraga. Membayangkannya saja sudah membuat leher Juna nyut-nyutan, apalagi jika sang adik benar-benar memelintirnya.

"Bercanda, Yan. Lo gak bisa diajak bercanda ih."

"Gue serius, Bang. Lo kenapa?"

"Lo ngerasa ada yang aneh gak sama Ayah dan Bian?"

Tian diam sejenak. Sudah ia duga bahwa perihal Bian dan ayah lah yang memenuhi isi kepala Juna. Perihal pertempuran tanpa nada yang terjadi di antara keduanya, dan perihal waktu yang mengikis kehangatan. Tian mengangguk sebagai jawaban, ia biarkan Juna meluruhkan seluruh batu yang mengganjal di kepalanya, menjadi pasir-pasir halus yang siap dipindahkan ke padanya. 

"Gue gak tahu kenapa ayah sampai semarah itu sama Bian. Gue tahu apa yang Bian lakuin itu salah, tapi bukan berarti ayah bisa diemin Bian kaya gini kan? Beberapa hari yang lalu gue sama Satria dengar ayah berantem sama Bian, bahkan ayah sampai nyuruh Bian untuk keluar futsal. Menurut lo ini aneh gak sih, Yan?"

 "Bang, kita gak pernah tahu isi kepala orang lain kalau kita gak tanyain langsung ke orangnya, biarpun itu ayah."

"Jadi?"

Menjaga BintangDove le storie prendono vita. Scoprilo ora