I'm Fine

1.1K 189 35
                                    

Operasi Juna berjalan dengan lancar bahkan ia sudah dipindahkan ke ruang rawat. Semuanya berkumpul di ruang rawat Juna. Kai dan Satria juga sudah diperbolehkan lepas dari infus hanya saja Satria harus berjalan menggunakan kruk karena keadaan kakinya yang belum memungkinkan.

"Ayah gak papa ninggalin kerjaan?" tanya Juna sedikit khawatir. Pasalnya ia tahu betul bahwa pekerjaan sang ayah bukanlah hal yang bisa ditinggalkan seenaknya.

"Jangan khawatirin itu, Bang. Abang harus mulihin diri, jangan mikir yang aneh-aneh."

Bagaimana Juna tidak kepikiran, keadaan adik-adiknya juga tidak baik-baik saja. Satria harus berjalan dengan kruk, padahal di sekolah sudah mulai pendalaman. Kalau keadaannya tidak segera membaik, mood anak itu pasti akan hancur. Lalu Kai, anak itu harus kehilangan wajah tampannya untuk sementara waktu. Tapi, bukan itu poin utamanya. Kai mengalami sedikit trauma, hal itu yang membuatnya lebih banyak diam serta mudah takut dengan bentakan. Tama juga harus ekstra sabar ketika berbicara dengan Kai. Jika nadanya naik setengah oktaf saja, Kai akan menganggap itu sebuah bentakan dan ia akan berakhir menangis.

Tian mengalami retakan pada lengan kanannya dan untung saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan selain itu. Untuk Bian ... lagi-lagi anak itu. Entah kenapa Juna merasa ganjal ketika menatap mata Bian. Pemilik mata bintang itu terlihat baik-baik saja, tak ada luka yang terlihat.  Tapi, Juna merasa bahwa adiknya sedang dalam keadaan sebaliknya. Entah keadaan fisik, atau psikologisnya.

"Bi, lo beneran gak papa?" tanya Juna pada akhirnya. Ia gemas sendiri melihat Bian yang diam. Iya sih, Bian setiap hari juga diam tapi dalam keadaan seperti ini tentu saja Juna gemas.

"Iya, Bang. Bang Juna bisa lihat sendiri kan kalau gue baik-baik aja."

"Iya Bang, mending kamu fokus pemulihan diri. Adik-adikmu sudah besar, mereka pasti bisa jaga diri. Sekarang juga ada Ayah karena untuk beberapa waktu ke depan, Ayah ngambil kerjaan jarak jauh."

Juna memilih diam karena jika ia semakin bicara, malah akan menambah perdebatan tanpa ujung. Cowok itu beralih pada ponselnya guna mengabari Wahyu bahwa dalam beberapa waktu ia tidak bisa masuk kuliah.

"Yah, aku nggak mau ketinggalan materi. Plis, gak ketinggalan aja bikin kepala pusing, gimana kalau ketingalan!" keluh Satria pada sang ayah.

"Tapi, Sat. Lihat kaki kamu, kamu emangnya bisa masuk sekolah kaya gitu?"

"Karena ini salah Bian, ya dia harus bantuin aku jalan ke kelas setiap hari. Dia juga harus beliin aku makan di kantin. Pokoknya Bian harus tanggung jawab atas diri aku."

Mendengar pernyataan Satria barusan membuat Juna yang sedang fokus pada ponselnya langsung menatap si pembicara dengan mata membelalak.

"Maksud lo apa, Sat? Salah Bian gimana?"

"Kan dia yang nyetir jadi dia dong yang salah."

"Sat tapi ... "

"Iya Kak, gue bakal tanggung jawab, kok," ucap Bian menyela kalimat Juna.

Sebenarnya bukan hany Juna yang terkejut dengan ucapan Satria barusan. Tama pun sama terkejutnya. Ia tidak habis pikir kenapa dia bisa berkata seperti itu.

"Kak, kok ngomong gitu?" tanya Tama dengan sabar.

"Kenapa, aku keterlaluan ya? Maaf-maaf, tadi aku bercanda. Bi, lo nggak marah kan?"

"Enggak kok, Kak."

"Kak Sat, lain kali jangan kaya gitu. Gue tahu mood lo lagi hancur, tapi plis kalau bercanda harus ngerti situasi. Gue mohon banget, sebagai adik lo gue ingetin. Kalau pas sama keluarga kaya gini, gak masalah karena kita bisa memaklumi tapi kalau sama orang lain belum tentu, Kak," kali ini Tian memberi wejangan pada sang kakak.

Menjaga BintangWhere stories live. Discover now