Prolog

112K 8.3K 270
                                    

[ Please VOTES before read, thank u! ]

Note ; Marga Vyacheslav dibacanya Fiaceslaf.

Kuantitas titik kehidupan didalam dunia ini tidak pernah diketahui dengan pasti, rongga-rongga yang mengalirkan waktu mungkin saja memang benar ada. Kehidupan dan kematian yang bertimpang tindih satu sama lain, para manusia kemudian mempercayai keimanan mereka semua dengan menyembah dewa dibawah pimpinan para paus dan kardinal.

Malam itu cahaya rembulan yang berwarna putih kekuningan ditemani dengan semilir angin sedingin udara dikutub bagian selatan. Tepat didepan pintu masuk katedral, seorang perempuan dengan surai dan kedua iris berwarna sebiru samudra tampak tengah berlutut diatas tanah yang kotor.

"Sesuai dengan titah kudus dari para dewa dan juga hukum bijaksana yang diterapkan oleh kekaisaran Neveritas, maka malam ini akan diadakan kegiatan penghapusan dosa dari seorang pendosa Madelaine Vyacheslav dihadapan api keagungan dewa Hefaix yang abadi beserta para saksi lainnya." Seorang kardinal terkemuka dari kuil suci itu berbalik seraya memberikan kode kepada para anak buahnya untuk membawa sosok pendosa yang hendak ia sucikan kehadapan sebuah api besar yang berada tepat ditengah bangunan kuil.

Sang perempuan bersurai biru dengan balutan gaun putih yang sudah kotor dan kumuh itu hanya bisa pasrah dan mengikuti tarikan kasar dari para anggota kuil suci yang berkehendak untuk membawa dirinya ketempat eksekusi, lantaran ia telah dituduh melakukan sebuah kegiatan yang menentang titah dewa atau penuh dosa.

Pelupuk kedua mata perempuan cantik itu tidak henti-hentinya mengeluarkan sebuah cairan sebening kristal. Tidak ada yang mengetahui seberapa besar rasa takut yang kian perempuan itu rasakan. Tubuhnya yang bergetar, luka-luka ditubuh kecilnya, dan juga rasa pilu yang turut membara didalam rongga dadanya. Perempuan itu hanya bisa menangis sembari menggeleng dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun.

Seseorang telah menjebaknya.

Kedua iris berwarna biru yang mengkilap seperti bongkahan berlian Safir itu terlihat begitu sendu saat secara tidak sengaja bertemu dengan kedua iris berwarna kuning emas milik seorang pria yang sangat ia kenali, itu adalah Duke Hadeon Regartez Vyacheslav atau sang Ayah.

"Ayah! Ayah tolong aku! Hentikan semua ini, ini menyakitkan! Aku takut! Ayah! Kumohon tolong aku! Ini.. Ini sakit! Aku sangat takut!" Perempuan bersurai biru dengan kondisi wajah yang dipenuhi luka lebam itu terus saja berteriak sembari menatap kearah sang ayah, berharap pria dengan ekspresi wajah sedatar tembok itu akan menoleh dan kemudian mengulurkan tangannya untuk menolong dirinya.

Pria berparuh baya yang masih saja tampan, dengan surai perak dan kedua iris berwarna kuning emas yang kini tampak tengah berdiri dengan gagah diatas sebuah paviliun itu adalah Duke Hadeon Vyacheslav, alias sang ayah dari perempuan yang hendak dieksekusi oleh para kardinal beserta bawahannya.

Keduanya memang tidak memiliki paras yang mirip, baik warna rambut maupun warna kedua bola mata diantara ayah dan anak itu berbeda. Yah hal itu jugalah yang menjadi salah satu dari puluhan alasan lainnya yang membuat sang Duke tidak pernah menyayangi maupun melirik eksistensi dari Madelaine Vyacheslav—putri sulungnya itu.

"A-ayah! Tolong aku!" Madelaine tidak henti-hentinya terus berteriak dan meminta tolong kepada sang ayah.

Namun alih-alih memberikan tatapan yang khawatir dan juga kasihan, Hadeon justru malah memberikan tatapan yang sama dinginnya sejak pertama kali pria itu melihat sosok Madelaine lahir kedunia. Tatapan dingin dan juga tajam itu masih saja sama, tidak berubah sama sekali bahkan setelah 18 tahun Madelaine tinggal disisi pria itu sebagai putri yang penurut dan rela melakukan apapun demi mendapatkan perhatian darinya.

Ketika tubuh ringkih Madelaine kembali diseret secara paksa menuju sebuah kobaran api, perempuan itu hanya dapat menangis dan terisak ketakutan seorang diri.

Rasa perih dan juga nyeri diseluruh tubuhnya membuat perempuan itu hanya bisa terdiam diposisinya sekarang yang terbaring diatas tanah dengan tidak berdaya. Madelaine berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun pening yang singgah membuat perempuan itu semakin beribu kali tersiksa.

Madelaine melirik kearah beberapa orang yang berada didepan sana, walaupun pandangan kedua matanya terlihat sedikit buram, Madelaine masih dapat mengenali sosok dihadapannya dengan baik. Itu adalah Dixon Vyacheslav—adik laki-lakinya, dan juga Violetta Rhodes—perempuan cantik, seumuran dengan dirinya yang merupakan putri dari bibinya.

Dixon dan Violetta melangkah untuk mendekati Madelaine.

"Maddie.." Violetta menyerukan panggilan Madelaine dengan lirih, sementara Dixon tampak melirik kearahnya dengan tatapan yang sama dinginnya seperti milik Hadeon.

"Kakak ayo kita kembali saja! Jangan disini, kakak bisa ketakutan lagi nanti!" Ajak Dixon kepada Violetta. Pria yang keluar dari rahim yang sama dengan Madelaine itu bahkan tidak pernah memanggil dirinya dengan sebutan kakak, lalu apakah sekarang Dixon benar-benar tengah memanggil Violetta dengan sebutan kakak? Ironis sekali.

"Maddie.. Aku sungguh ingin minta maaf.. hiks.. Maddie.. hiks.. hiks.. maafkan aku.." Tubuh Violetta tampak bergetar—ketakutan, sementara kedua matanya terus meneteskan air mata tanpa henti.

Dixon mendengus kasar, "Ck! Untuk apa kakak meminta maaf kepada perempuan itu? Justru perempuan itulah yang seharusnya meminta maaf kepada kakak karena telah berniat menjadikan kakak sebagai sebuah tumbal dari ritual sihir kotornya!" Dixon meraih tubuh Violetta yang bergetar ketakutan, sementara kedua matanya sesekali melirik kearah Madelaine dengan tajam.

"Kau.. Violetta.. Kau adalah perempuan yang sangat licik." Madelaine yang masih tersungkur diatas tanah berujar dengan nada lemah dan penuh penekanan.

Dixon yang mendengarnya sontak langsung marah besar, "Apa-apaan perempuan ini? Dasar tidak punya hati! Kakak Violetta bahkan masih mengkhawatirkan dirimu, tapi apa balasan yang kau berikan kepadanya? Kau justru malah mengatakan kakakku licik! Dasar penyihir!" Dixon tampak geram, sembari menarik Violetta yang masih menangis kedalam dekapannya.

Madelaine mengigit bawah bibirnya, dan mengeraskan rahangnya. Ketika menyaksikan Dixon memeluk dan membelai punggung Violetta yang kelihatan gelisah dan juga ketakutan. Semua itu jelas adalah sandiwara, Violetta tidak benar-benar ketakutan ataupun mengkhawatirkan dan merasa bersalah terhadap Madelaine. Sebab perempuan itu adalah dalang sesungguhnya dari situasi Madelaine saat ini.

"Kalian semua akan menyesal.. Kalian pasti.. Akan menyesal karena telah memperlakukan diriku dengan buruk." Madelaine mengepalkan kedua tangannya erat-erat, dan kemudian tubuhnya kembali dipaksa untuk bangkit oleh para bawahan kardinal di kuil suci tersebut.

Madelaine dibawa kehadapan sebuah api yang terlihat begitu mengerikan. Hawa panas dari kobaran api tersebut membuat tubuh Madelaine diselimuti dengan bulir-bulir keringat. Madelaine menatap kearah bulan dengan kedua mata yang memerah, perempuan itu memberikan tatapan yang sangat tajam seolah-olah ia murka dengan bulan atau lebih tepatnya sosok 'dewa' yang selama ini berada diatas sana.

"Berengsek. Dewa apanya? Kau bahkan sama sekali tidak pernah membantu dan membuat diriku bahagia. Kau bukanlah dewa. Kau tidak lebih hanyalah sekedar sosok jahat yang menikmati penderitaanku." Tepat setelah berujar seperti itu, kemudian salah satu anak buah kardinal memotong kedua tangan dan kakinya, lalu setelah itu mereka langsung mendorong tubuh Madelaine kedalam kobaran api.

Nyatanya dikehidupan kali inipun Madelaine tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Lagi-lagi Madelaine harus berakhir dengan takdir yang begitu mengerikan. Dibakar hidup-hidup dihadapan masyarakat dan juga keluarganya sendiri? Ironisnya lagi, orang-orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga itu ternyata tidak pernah menganggap dirinya sebagai keluarga. Hanya karena warna rambut dan bola matanya yang berbeda. Ah, lagipula mengapa ia harus terlahir dengan warna rambut dan bola mata yang berbeda dengan milik ibu ayahnya?

Lagi-lagi semua itu adalah kehendak dewa yang menurutnya sangat bodoh.
*****

BEYOND THE HORIZONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang