Layaknya sebuah peran figuran yang hanya memiliki dua pilihan, mengganggu atau mengamati dalam diam. Aku pikir tidaklah buruk menjadi seorang pengamat.
Namun, tak disangka semua berubah berantakan. Pernah mendengar 'curiosity killed the cat'. Beraw...
“Crying is a way your eyes speak when your mouth can’t explain how broken your heart is.” — Unknown
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Elenio CakalaArgani, from class 11 Social 2. Please go to the counseling room.
Bel tanda kami harus berkumpul di lapangan belum berbunyi, tetapi sejak tadi pengeras suara di sekolah justru memanggil nama Kak El beberapa kali. Perasaanku mendadak tidak enak. Aku menutup mataku, percakapanku dengan Kak El semalam tiba-tiba muncul di kepalaku.
"Cebol, gue besok nggak bisa jemput lo," ujar Kak El saat aku akan turun dari mobilnya.
"Hah?" Otakku sempat berpikir beberapa detik. "Oh, oke. Lagian kakak nggak ada kewajiban buat antar-jemput aku."
Kami berdua sama-sama terdiam. Satu detik, dua detik, hingga detik ke lima belas, kami masih tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun. Aku meliriknya, entahlah Kak El tidak seperti biasanya. Aku pikir dia sedang banyak pikiran. "Eee... Kalau gitu aku masuk duluan ya, Kak," pamitkumemecahkeheningan diantara kami berdua. Merasa sudah tidak ada hal yang akan Kak El bicarakan lagi padaku.
"Sha."
Aku lagi-lagi tidak jadi membuka pintu mobilnya. "Iya?"
Menolehkan kepalaku ke belakang, melihatnya masih memandang lurus ke depan. Penglihatanku turun ke arah stir mobilnya yang sedang dia cengkram kuat. Aku mengerutkan keningku, dia terlihat sedang menahan amarah. Ada apa dengannya?
"Lo ingetpermintaan gue di rooftop rumah sakit?"
Bola mataku bergerak keatas, mencoba mengingat apa yang dimaksudolehnya. Aku seketika teringatsepenggal kalimat yang diucapkanolehnya malam itu. "Run to me and never leave me," jawabku yang sepenuhnya mengulang perkataan miliknya saat itu.
"Good girl." Dia mengangkat sebelah tangannya ke kepalaku, lalu mengusaktatanan rambutku. "Dah, sana pulang! Perlu gue bukainpintunya?"
Pukulan pelan di bahuku membuyarkan semua lamunanku. "Janne? Sesil?"
"Hey, morning!" Janne menaruh tas ransel miliknya ke bangkunya. "Pagi-pagi udah bengong aja. Sampe kita berdua masuk lo gak sadar," imbuhnya yang membuatku tertawa kecil.
"Tumben kalian berdua berangkat bareng?"
"Mana ada, gue tadi ketemu Janne di tangga. Lo tau sendiri sekarang nih bocah selalu diantar-jemput sama tunangannya," cerocos Sesil. Dia duduk di bangku sampingku, "Yayang lo kenapa?"