episode satu

1.7K 61 4
                                    

Aula yang digunakan untuk momen-momen tertentu Universitas, sepagi ini sudah ramai dihadiri oleh semua civitas academy juga para orang tua yang hadir untuk menyaksikan hari bersejarah bagi anak-anak mereka yang sudah bersusah payah menyelesaikan kurikulum mata kuliah mereka selama lebih kurang delapan semester.

Wajah haru dan bahagia, hingga kilatan lampu yang berasal dari ponsel maupun kamera DSLR menjadi saksi perjalanan hari bahagia bagi mahasiswa.

Aku mencoba bersikap sangat santai meski di dalam hati sedikit dag dig dug. Dari sekian banyak Mahasiswi, hanya Aku yang tidak tersentuh make-up dan pergi ke salon sejak dini hari. Padahal, beberapa teman-temanku suka rela mengajakku untuk join bersama mereka pergi ke salon. Bahkan ada yang rela menjemputku sesubhuh itu. Tapi, apa mau dikata. Aku keukeuh untuk tidak ke salon ataupun di polesi oleh benda warna-warni itu. Takut dengan dosa tabarruj membuatku konsisten dengan semua pilihanku. Terserah ada yang nyinyir. Tapi itulah aku. Sebisa mungkin untuk tidak melipat gandakan dosa yang aku sudah tahu konsekuensinya apa.

"Niaaa!!" Dari jarak dua puluh meter, aku melihat  Yani melambaikan tangan ke arahku. Semenjak berkaca mata, dari jarak berapa saja Yani sudah bisa mengenali wajahku. Dulu? Boro-boro. Aku yang lewat di depannya saja, Yani bisa tidak kenal. Apa daya, memiliki mata minus membuat Yani--mau atau tidak--harus rela mengenakan kaca mata yang tebal lensanya Masya Allah.

Ohiya, seperti diriku. Yani juga tidak mengenakan benda warna-warni itu. Bukan karena tidak ingin berdandan. Tapi, Yani memiliki kulit wajah yang sensitif, sehingga dia sangat takut untuk memolesi wajahnya dengan sembarang merek kosmetik. Alhasil, Yani hanya mengenakan bedak setipis mungkin dan lipstik warna netral agar tidak terlihat pucat. Topi toganya dia pegang di tangan kanan.

Kami saling berangkulan. Memamerkan senyum.

"Ah, akhirnya wisuda juga kita, Nia." Celoteh Yani.

Aku mengangguk. "Iya, senang banget rasanya. Serasa kayak lepas dari manaaa gitu." Sambutku.

"Iya. Capek banget tahu, mana bikin skripsinya udah kaya apa. Rombak sana sini. Giliran udah beres, masih ada aja yang salah." Keluh Yani yang kuangguki serta merta.

Masa-masa kuliah adalah masa-masa yang akan kurindukan nantinya. Terlebih masa-masa menyusun skripsi. Mulai dari mencari judul, mencari data, menemui dosen, seminar awal, acc bab perbab yang sangat memakan waktu dan menguras tenaga. Belum lagi jika dosennya sangat susah ditemui. Alamat tidak selesai-selesai yang akhirnya jadi malas melanjutkan menyusun skripsi, dan ini terjadi pada beberapa orang temanku. Beruntung aku mendapat pembimbing yang sangat baik hati dan pengertian. Bu Hafsah namanya. Beliau adalah dospem yang layak diacungi jempol. Apa yang tidak sesuai, akan dituntaskan saat itu juga. Bahkan bu Hafsah tidak sungkan untuk menunjukan beberapa literatur yang harus kubaca agar skripsiku menjadi lebih berbobot.

Aku juga pernah diundang bertamu ke rumah Bu Hafsah gara-gara beberapa skirpsiku ada kesalahan, sementara hari senin adalah jadwal seminar akhirku. Dan kesalahan pada skripsi baru terdeteksi di hari sabtu malam, saat Bu Hafsah memeriksa punyaku. Walau tidak begitu fatal, tetap saja aku mengapresiasi kebaikan hati dospemku ini.

Kembali ke Yani. Aku meneliti wajah Yani yang polos tanpa kaca mata.

"Kamu gak pakai kacamata, Yan?" Tanyaku.

"Ribet, tahu! Aku pakai lensa kontak aja. Dua hari yang lalu aku beli."

Aku manggut. "Kamu kok, polos amat sih, Nia? Lihat tuh, keringat kamu udah muncul di hidung. Sini, aku pakaikan bedak punyaku." Yani mengeluarkan beda merek internasional yang kutahu harganya lumayan mahal.

"Jangan tebal-tebal!" Aku memberi peringatan.

"Udah, diam aja, bawel! Sekali-kali, dandan dikit kan gak pa-pa, Nia. Kamu sih, polos amat! Lagian, mana ada laki-laki yang mau dekatin kamu walau kamu itu dandan sekali pun!" Cerocos Yani, membuatku melipat dahi.

"Kok gitu?" Tangan Yani lihai bergerak di area wajahku. Aku berkali-kali mengusap hidung karena entah sengaja atau tidak, sponge bedak Yani mengenai hidungku. Gatal.

"Yaiyalahhh, jalan kamu nunduk terusss, udah kayak orang ngitungin ubin jurusan!" Ledeknya. Alih-alih marah, aku malah tertawa. Setelah selesai dengan bedak, Yani mengeluarkan lipstik dari dalam tempat yang sama.

"Aku gak mau pakai lipstik, Yan!" Delikku.

"Tenang aja! Ini gak menor, kok!" Yani mengapit wajahku dengan satu tangannya, sehingga mulutku maju beberapa senti. Persis seperti mulut ikan. Sembari memoles lipstik Yani terus saja nyerocos. "Udah beres. Sekarang, coba lihat di cermin." Yani menyodorkan cermin. Aku mengerut dahi. Menatap pantulan wajahku di cermin kecil yang bisa masuk dompet. Walau polesan Yani minimalis, tapi itu cukup membuat wajahku berubah drastis.

Ternyata Yani pintar juga memakaikan make-up.

"Aku tahu, kamu mau muji aku. Tapi, thanks. Simpan dulu aja pujiannya. Sekarang, orang tuaku sudah di parkiran. Dan acara sudah mau mulai." Ucap Yani bangga. Aku terkekeh. Tak berapa lama, ponselku juga ikut berbunyi. Nama Bapak tertera di layar. Segera saja kuangkat. Seperti orang tua Yani, Bapak dan Ibu juga sudah mulai masuk ke aula wisuda. Karena ramai, Bapak dan Ibu sampai bingung mencari pintu masuk.

Setelah saling melambai, Aku dan Yani berpisah. Yani menuju ke tempat parkir. Sementara Aku menuju aula tempat wisuda.

Aku berjalan menyusuri mahasiswa dan para tamu undangan yang mulai ramai memenuhi pintu depan Aula. Karena begitu fokus mencari keberadaan Bapak dan Ibu, aku tidak menyadari kalau aku menginjak kaki seseorang. Dan membuat dia mengaduh.

"Maaf, dek! Kaki saya keinjak!" Beritahunya sopan. Dari suaranya, aku tahu kalau dia laki-laki. Segera saja aku memundurkan langkah. Tidak berani menatapnya.

"Maaf, Pak! Saya gak sengaja." Aku melihat sepatuku. Untung saja aku tidak memakai sepatu hak tinggi. Kalau tidak, mungkin kaki laki-laki ini sudah memar kubuat.

"Maaf, saya bukan bapak-bapak!" Ketusnya. Dan itu cukup membuatku menatapnya reflek. Dan dia juga tengah menatapku. Benar saja. Dia bukan bapak-bapak. Tapi abang-abang yang berpakaian ala esmud ibu kota. Dengan jas berwarna navy yang membalut tubuhnya. Eh, kok esmud pakai celana cingkrang sama sendal?. Aku memukul sisi kepalaku yang sedikit ngawur. Brrr, apa urusanku?.

Aku kembali melanjutkan langkah setelah meminta maaf untuk kedua kalinya. Posisi Bapak dan Ibu akhirnya bisa kutemui. Senyumku reflek melebar tatkala melihat dua orang yang kukasihi itu menatap penuh cinta kepadaku. Hingga, hanya berjarak empat meter, mendadak senyumku hilang. Di samping Ibu Aku melihat Uwak Fitri berdiri di samping Ibu, dengan penampilan yang sungguh jauh dibandingkan Ibu. Dengan baju kebaya yang ngepas di badan, dipadukan dengan batik pekalongan sebagai bawahannya. Ohya, tak lupa sepatu hak tinggi dan dandanan yang menghiasi wajahnya. Serta tangannya yang ginuk-ginuk itu memegang kipas kain dan tas kecil. Persis Ibu pejabat.

Aku terkesima. Sekarang, yang jadi orang tuaku siapa, sih? Ibuk kah? Atau uwak Fitri lah?.

Dan satu lagi. Hari ini, akan ada notifikasi dari puluhan chat grup WA dari keluarga besar pihak Ibuku. Dan topiknya adalah Rania Rasyid. Lihat saja nanti.

00000000

19/11/2021
Phi2

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang