Episode dua puluh satu

373 34 0
                                    

"Bagaimana, Nia? Kamu sudah melihat CV yang dikirim ke kamu, Nak?" Tanya Ibu, di saat kami sedang berada di teras belakang.

"Sudah, bu." Gumamku.

"Gimana?"

"Bagus, bu." Aku mengambil jeda sesaat. "Tapi ini apa benar langkah yang tepat, bu? Jujur Nia masih bingung, bu." Aku mencari tempat berlindung di mata Ibu yang kini menatapku.

"Begini saja, kita temui saja dulu orangnya. Kita lihat bagaimana tindak-tanduknya. Kalau memang tidak baik, tidak berkenan. Kamu bisa menolak."

"Sesederhana itu, bu?"

"Kenapa harus rumit? Kita kan, lagi tahap memperkenalkan diri, Nia. Bukan tahap melamar. Kita berhak untuk menolak kalau ada yang tidak kita suka. Pernikahan itu dibangun atas dasar saling suka, nak. Tidak bisa karena terpaksa atau tidak enak hati."

"Bagaimana kalau bu Hafsah kecewa?"

Ibu menggeleng yakin. "Ibu rasa, dosenmu itu perempuan bijak. Kalau nggak, bagaimana bisa dia mempunyai anak yang hebat seperti Zain. Ohya, ngomong-ngomong soal Zain, ternyata dia itu--"

Pembicaraan kami terhenti saat mendengar pintu pagar didorong, lalu langkah seseorang masuk ke dalam rumah, mengetuk pintu.

"Uwak, bu!" Ibu ikut mengangguk. Beranjak dari duduk, dan bergegas ke pintu depan. Begitu pintu  dibuka, uwak masuk tergopoh-gopoh. Bahkan lupa mengucapkan salam segala.

"Dari mana, teh, kok keringatan begitu?" Seperti sudah mengenal kebiasaan kakaknya, Ibu menyodorokan air minum ke tangan uwak Fitri. Dalam hitungan detik, air di gelas habis tak bersisa.

"Teteh mau tanya, apa benar Nia mau dilamar orang?!" Tanya uwak Fitri tanpa basa-basi. Wajah Ibu menyiratkan kebingungan, lalu berangsur berganti senyum.

"Teteh tahu dari siapa?"

"Jadi benar?! Ya Allah, Rat! Kumaha eta, teh! Anak masih bau kencur begitu, sudah kamu biarkan dilamar orang! Anak kamu itu masih kecil, Rat! Baru lulus kuliah! Bahkan kerja saja belum!!" Buru uwak Fitri, membuat telingaku sakit mendengar kalimatnya.

Jangankan marah, atau tersinggung. Ibu justru tersenyum mendengar omongan kakaknya.

"Teh, kalau nyerap berita itu, dari yang benar sumbernya, teh. Lagipula, kalau ada yang mau lamar Nia, Ratna pasti kasih tahu teteh. Mana mungkin Ratna sembunyikan dari teteh."

"Jadi gak benar?"

"Nia dilamar? Ya belum, sih! Cuma memang ada laki-laki yang mau taaruf sama dia. Anak dos--"

"Jangan dulu atuh, Rat! Ngapain nikah diburu-buru! Anak kamu itu terlalu kecil buat nikah! Tahu apa dia soal hidup berumah tangga? Kalau yang pantas nikah duluan itu ya Diana, atuh!" Lagi, uwak Fitri memandang enteng diriku. Meninggikan anaknya. Apa uwak Fitri masih sanggup berbicara seperti ini jika dia tahu kebenarannya?

"Kecil dari mananya, teh? Orang Nia sudah dewasa begini! Bentar lagi juga dua puluh tiga." Seloroh Ibu.

"Kamu gak takut pernikahan anakmu gagal karena kecepatan nikah?!"

"Astagfirullah, teh! Kok ngomongnya gitu, sih? Belum apa-apa doanya udah gak baik." Seru Ibu tidak suka. Namun masih tetap terlihat tenang. "Mau nikah muda, mau nggak, umur gak bisa jadi patokan untuk mengukur kadar kesiapan seseorang dalam berumah tangga, teh. Ada yang sudah mendekati kepala tiga, bahkan sudah mapan, masih nggak siap untuk menikah." Jelas Ibu.

"Kamu gak takut?!"

"Takut apa, teh?"

Mata uwak Fitri menatapku sekilas. "Nia belum kerja, dia belum bisa membalas jasa-jasa kamu. Belum menyenangkan orang tuanya. Kalau dia nikah, dia gak akan bisa lagi berbakti sama kamu."

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now