Episode enam

434 35 1
                                    

Semalaman Aku memikirkan perkataan Ibu. Dan akhirnya Aku sampai pada satu keputusan. Ya, aku akan menjalani kewajibanku dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Terlepas nanti apa pikiran orang-orang. Setiap imdividu punya hak untuk bahagia dengan caranya masing-masing.

Juga Aku.

Hari ini, aku mengajak seluruh tim DONAT, yang hampir rata-rata anggotanya perempuan berkunjung ke rumahku. Dari dua puluh orang, hanya delapan orang yang datang. Selebihnya, ada yang kuliah, bekerja dan malas tentunya. Tidak apa-apa. Setidaknya yang datang ini bisa menyampaikan informasi yang kepada yang tidak hadir nanti.

"Sesuai dengan namanya, DONAT, donasi umat, tugas kita di sini sudah tentu mengumpulkan donasi untuk siapa saja kaum papa yang membutuhkan. Kalau selama ini, hanya terpaku pada lingkaran komplek, kita akan merambah ke raung lingkup yang lebih luas. Seperti meminta bantuan dari perusahaan-perusahaan misalnya."

"Apa mungkin, kak?" Tanya Mimi. Yang menyempatkan hadir.

"Mungkin saja, kalau kita punya proposal yang bisa di pertanggung jawabkan. Di kegiatan ini, kita tidak fokus pada membantu keluarga miskin saja. Kita juga menjadi wadah dan penyalur donasi. Seperti kita bisa.com, atau Aksi Cepat Tanggap (ACT). Kalian kenal dengan nama-nama itu, kan?" Tanyaku. Mereka mengangguk. "Mungkin kita belum bisa sehebat mereka. Tapi gak apa-apa. Setidaknya kita punya tujuan mulia." Orasiku.

"Jadi selain keluarga susah, kita juga bisa membantu mengadakan sedekah Al-quran, sedekah mukena, sedekah makanan, kalau tidak bisa setiap hari, kita bisa berikan di hari Jumat karena pahalanya dua kali lipat, sedekah air, atau bantuan bencana alam."

"Dananya, kak?" Tanya yang lain, apa sanggup warga komplek di sini  menggelontorkan dana besar-besaran? Untuk infak sekali seminggu saja, susahnya ampun-ampunan. Bilang nanti-nanti. Giliran beli baju di market place, terus tukang ekspedisi keluar masuk komplek, mereka sanggup-sanggup aja."

Suara di sekitarku tertawa. Kenyataan yang tak bisa ditolak.

"Itulah gunanya kita dibentuk. Kita bisa meminta pak RT mengumumkan kalau ada tim DONAT di lingkungan ini. Kita minta pak RT untuk menjadi penanggung jawab kegiatan kita. Jadi di saat ada yang tidak setuju, maka tinggal lapor pak RT."

"Cara memberi tahu pak RT gimana?" Sambung yang lain.

"Kita cerita dulu ke pengurus masjid dan ketua remaja masjid. Nanti biar pengurus masjid yang kasih tahu pak RT. sambil kita buat susunan tim DONAT  dan apa-apa saja visi dan misi kita." Seruku semangat.

Mimi dan lain terlihat setuju. "Kalau sudah selesai?"

"Kita mulai mengumpulkan donasi. Tapi kita harus tentukan dulu siapa yang akan kita bantu. Boleh dimulai dari tetangga kita yang kesusahan dulu. Misal, yang gak punya pekerjaan tetap, sementara punya anak yang harus di biayai sekolah." Ucapku.

Tiba-tiba, Lia mengangkat tangan. "Aku kenal siapa keluarga yang bisa kita bantu!" Serunya. Membuat tujuh pasang mata melihat ke arah Lia.

"Namanya Pak Hasan, punya anak tiga orang yang ketiganya masih kecil-kecil. Dua diantaranya dalam usia sekolah. Istri Pak Hasan sudah meninggal dua tahun yang lalu. Sehari-hari pak Hasan bekerja serabutan. Apa saja yang dapat. Kadang jadi pemulung, kadang mengangkat barang belanjaan orang di pasar, kadang memperbaiki atap rumah yang bocor. Apa saja, yang penting bisa menghasilkan uang yang halal. Dan bagusnya lagi, pak Hasan tidak pernah mengemis, walau hidupnya nelangsa. Dan sayangnya, Pak Hasan tidak pernah mendapat kucuran bantuan dari mesjid kita saat hari raya ataupun zakat maal." Cerita Lia, membuatku termangu.

"Kak Lia kenal?" Tanya Mimi. Entahlah, di sini terlalu ramai warga yang datang dan keluar. Sehingga tidak begitu perhatian siapa saja warga di sini. Bahkan kalau dikumpulkan satu aula, bisa dikira mau demonstrasi nantinya.

Lia mengangguk. " dia tetangga di belakang rumahku." Jawab Lia. Aku mengangguk. Pantas. Rumah Lia sudah berada di ujung komplek, bersebelahan dengan komplek tetangga. Dan juga rumah pak Hasan persis di belakang rumah Lia. Jika rumah Lia begitu besarnya, kemungkinan rumah pak Hasan tidak terlihat dan terdata oleh pengurus mesjid.

"Kalau gitu, tolong ajak aku ke rumah pak Hasan." Jawabku cepat. Membuat Lia terkejut. Tidak menyangka reaksiku secepat ini.

"Kapan?" Tanya Lia.

"Besok?"

"Bagaimana dengan memberitahukan lebih dulu ke pengurus mesjid dan pak RT?" Timpal Mimi.

"Kita baru cuma melihat-lihat. Belum open donasi. Gak ada salahnya, kan?" Yang lain terlihat setuju.

"Nanti aku kabari Pak Hasan." Lanjut Lia.

"Jangan, apa adanya saja. Nanti kalau kamu kabari, justru akan menyusahkan beliau. Pasti beliau akan sibuk mencari panganan kecil untuk kita, sementara beliau susah. Tidak boleh merepotkan orang susah." Jelasku. Lia tersenyum lega. Begitu juga dengan yang lain.

00000

"Bu, bisa bikinkan Nia, kue-kue kecil nggak?" Bapak dan Ibu tengah duduk di depan televisi sambil menonton siaran olah raga.

"Untuk apa?" Bapak yang bertanya.

"Mau dibawa ke rumah tetangga."

"Ada yang sakit?" Bapak masih belum paham.

Aku menggeleng. "Bukan, Pak." Jawabku. Lalu menceritakan tentang pertemuanku tadi kepada Bapak. Terlihat Bapak dan Ibu antusias mendengarnya.

"Wah, bagus itu. Bapak rasa tindakan kamu benar. Pak Hasan, ya?" Bapak tampak berpikir. Lalu menggeleng. " kayaknya bapak nggak kenal." Ibu juga ikut menggeleng. Bapak yang lumayan bergaul dengan warga komplek, tidak kenal dengan pak Hasan. Apalagi aku.

"Bapak senang, lihat kamu bersemangat seperti ini, Nia." Ucap Bapak sejurus kemudian. Setelah pembicaraan tentang Pak Hasan meredup.

Aku tersenyum. "Nia hanya menjalankan amanah aja, Pak. Nia cuma ingin mengisi waktu." Jelasku.

"Terserah apa alasanmu. Yang penting bapak senang lihat kamu kayak ini." Bapak menatapku lekat. "Nanti, kalau ada yang kamu butuhkan, bapak siap kok, mengulurkan bantuan." Aku tertawa.

"Nia cuma tim donasi umat, Pak. Cuma keliling komplek. Cuma ngutip uang." Jelasku, tanpa bermaksud merendah.

"Hal-hal besar selalu berawal dari yang kecil, Nak. Gak ada yang tahu. Apalagi yang kamu lakukan adalah membantu sesama. Dan itu sudah pahala untuk kamu."

"Iya, Pak. Nia cuma minta doa bapak sama Ibu aja. Anggap aja batu loncatan. Seperti kata Ibu, bisa jadi dengan bergabung dengan tim DONAT akan menambah lingkar pertemanan dan juga informasi. Kali aja ada lowongan yang cocok untuk Nia." Jelasku.

Bapak melipat dahi. "Ibu ngomong gitu?" Bapak menatap Ibu tak percaya. Aku mengangguk mantap. "Wah, Ibumu ini memang pintar ya?" Bapak memuji Ibu sambil mengusap kepala Ibu penuh sayang. Nia haru melihat romantisme kedua orang tuanya. Bahagia rasanya tumbuh dari keluarga yang bisa saling suport dan menghargai. Tidak saling menyakiti namun saling memberi nasihat dan masukan.

000000

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن