Episode lima

519 36 1
                                    

Setelah makan malam tiga hari yang lalu itu, aku benar-benar melupakan perihal lamaranku yang tak kunjung dibalas. Bapak benar. Kita harus bisa bersabar untuk semua hal. Mungkin disinilah letak Allah mengujiku. Allah ingin tahu sampai dimana aku sanggup bersabar. Dan apakah aku akan terus menjadikan Allah tempat mengadu disaat hatiku gundah gulana?

"Kak Niaa!" Jerit suara yang terlihat jauh dari jangkauan mataku. Perempuan dengan kerudung berwarna merah hati melambaikan tangannya ke arahku. Tak lupa dengan senyumannya.

Mimi. Dia yang memanggilku. Mimi adalah tetangga depan rumahku. Kami tergabung di kelompok remaja mesjid sejak lima tahun yang lalu. Jika Aku sekarang pengangguran, maksudku  sudah tamat kuliah, maka Mimi baru akan mengerjakan skripsinya.

Aku berjalan menghampiri Mimi. Setelah sekian lama vakum dari keorganisasian remaja mesjid, dua hari yang lalu aku mendapat undangan untuk hadir sebagai tamu. Rencananya, hari ini akan ditunjuk pengurus atau ketua untuk  kegiatan baru yang diberi nama Donasi Umat atau disingkat DONAT. Kegiatan ini bertujuan untuk mengumpulkan dana dari setiap umat yang cakupannya lebih luas. Meminta donasi tidak hanya sebatas warga komplek saja. Tapi juga di luar komplek. Bahkan bisa saja kepada perusahaan-perusahaan yang owner-nya adalah seorang muslim.

"Kakak punya calon gak siapa yang bakal jadi ketua DONAT?" tanya Mimi, begitu aku duduk di sebelahnya. Juga di sebelah teman-teman remaja masjid yang lain. Kami saling melempar senyum sejenak.

"Kamu aja lebih cocok, Mi." Melirik teman-teman yang lain. Dan mereka mengangguk. Ikut menyetujui pendapatku.

"Iya, benar tuh, Nia." Sambut Lia, di belakang Mimi.

Mimi menggeleng. "Jangan dong, kakak-kakak. Kak Nia lupa ya, sekarang Mimi lagi fokus nyusun skripsi?" Elak Mimi. "Kalau Mimi yang dipilih, nggak akan tercapai target kita nanti. Yang ada Mimi malah ngaret terus pas pertemuan kita." Jelas Mimi, membuat beberapa yang mendengar penjelasan Mimi mengangguk.

"Kalau gitu, kamu punya calon potensial, gak?" Tanya Lia.

Mimi melirikku sekilas. Jangan sampai....

"Bagaimana kalau kak Nia saja?!" Sahutnya cepat, tanpa memberiku kesempatan  menyela, dan sayangnya usulan Mimi disambut hangat oleh teman-teman di sampingku.

"Iya juga, ya. Tapi kan, sekarang Nia udah selesai kuliah, pasti lagi sibuk nunggu panggilan wawancara. Bagaimana kedepannya DONAT kalau Nia tiba-tiba mendapatkan pekerjaan baru?" Celetuk Ria di samping Lia, membuat yang  lain kembali mengangguk.

Aku menghela napas. Aku datang kepertemuan ini, sengaja ingin menghindari pembicaraan tentang pekerjaan. Eh, malah diingatkan lagi oleh Ria. Aku menggigit bibir. Mencoba membuat hatiku tenang. Jangan sedih Nia. Ingat, belum bekerja sekarang bukan berarti buruk. Hanya belum waktunya saja.

Suara kami terpotong oleh dua orang perempuan yang juga mengenakan hijab, yang tiba-tiba berbicara di depan. Dari hasil survey mereka, didapatkan lima calon yang akan mengurus DONAT nantinya. Dan dari kelima calon itu, namaku ikut masuk di dalamnya.

Tepuk tangan Mimi di pundakku, membuatku menoleh ke samping. Menatapnya meminta penjelasan.

"Kak Nia calon yang paling cocok." Bisiknya di telingaku. Dan ketika voting diambil, namaku menjadi pemimpin suara dari keempat nama tadi. Dan bisa ditebak kalau Aku adalah...

"Nia! Bisa maju ke depan, untuk sepatah dua patah kata, mungkin?" Pintanya dengan suara lantang. Aku menatap Mimi lagi.

"Kakak pasti bisa. Selama ini, kak Nia yang ngurus remaja mesjid. Soal DONAT, itu cuma seujung kuku aja buat kakak." Cengirnya, membuatku ingin mencubit hidung bangirnya itu.

Aku berdiri menatap sekitar lima belas hingga dua puluh perempuan yang usianya sepantaran denganku. Mereka fokus menatap ke satu titik. Aku. Sambil memikirkan apa visi dan misi ku kedepan, aku mulai berbicara di depan mereka. Berbicara di depan umum, bukanlah hal canggung untukku. Hanya saja bergabung lagi dengan keorganisasian bukanlah sesuatu yang kuinginkan sekarang. Bukannya tidak suka, tapi aku sedang butuh untuk menenangkan diri sambil memikirkan apa rencanaku kedepan. Dan terlibat dalam DONAT tidak menjadi prioritasku saat ini.

00000

"Kenapa wajahnya cemberut begitu?" Ibu melihatku yang tidak semangat membantunya memasukkan kue risoles ke dalam plastik  pesanan langganan Ibu. Selain membuka kedai di depan rumah, Ibu juga terkadang membuat kue-kue basah sesuai permintaan pembeli. Rata-rata kue basah itu dibuat untuk acara-acara khusus seperti arisan, pengajian hingga acara sekolah. Rata-rata hampir semua tetangga komplek memesan kepada Ibu kalau mereka ada acara. Dan dengan senang hati Ibu akan menyanggupi. Walau kadang Bapak suka melarang dan bilang jangan terlalu memaksa badan, tapi Ibu selalu semangat mengerjakannya.

"Menurut Ibu, apa Nia pantas jadi ketua DONAT?" gumamku, membuat Ibu melipat dahi.

"Donat?" Mungkin Ibu berpikir aku sedang membicarakan kue donat. Cepat Aku menggeleng. Lalu menceritakan tentang pertemuan tadi. Juga tentang keresahanku.

"Kenapa nggak? Lebih bagus begitu. Biar kamu gak suntuk juga." Jawab Ibu enteng. Bukan itu yang ingin kudengar dari mulut Ibu. Tapi, kalau aku bergabung lagi dan terjun lagi mengumpulkan donasi ke tetangga-tetangga, ke orang-orang, lamban laun mereka akan tahu betapa senggangnya waktuku. Mereka akan bertanya macam-macam, akan berpikir macam-macam. Masa iya, sarjana tidak mencari pekerjaan, tapi malah sibuk mengurusi urusan remeh temeh? Apa ijazahku tidak berguna sampai tidak mencari pekerjaan segala tapi malah sibuk mengurusi duit orang?

Aku menghela napas. Tetap melanjutkan menolong Ibu.

"Nia, Ibu tahu apa yang meresahkanmu. Pasti kamu gak nyaman kalau nanti orang-orang bertanya kenapa kamu tidak bekerja bukan? Tapi malah aktif lagi di organisasi masjid?" Gerakan tanganku terhenti. "Nia, mencari pekerjaan dan ikut dalam wadah organisasi itu, dua hal yang berbeda, nak. Jangan kamu campur adukkan itu. Kalau memang tugasmu ada untuk menolong sesama, kenapa tidak kamu lakukan dengan ikhlas saja? Toh, bukankah pekerjaan ini pahalanya sangat besar, karena kamu akan memberikan bantuan untuk orang-orang yang kesusahan? Kamu jadi bisa melihat sisi hidup orang lain, bercerita dengan mereka, melihat betapa banyaknya orang yang tidak seberuntung kamu. Untuk urusan ini, mungkin Ibu tidak akan mengajari kamu. Tapi Nia, kenapa kamu bisa ikut bergabung lagi di keorganisasiaan, seharusnya kamu bersyukur. Siapa tahu, dengan bertemu orang banyak, semakin banyak lingkar pertemananmu. Banyaknya linngkaran pertemanan, akan membawamu mendapatkan banyak informasi. Terutama soal lowongan pekerjaan."

"Selama ini, mungkin kamu hanya mendapatkan informasi itu melalui internet, atau dari teman-temanmu. Tapi, kamu belum mendengarnya dari orang luar. Mana tahu, dari orang  yang akan kamu temui, kalian berbicara apa saja dan dia menunjukkanmu kalau ada lowongan pekerjaan yang kosong yang sangat cocok dengan kualifikasi dirimu." Aku menatap Ibu takjub. "Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian, Nak. Kenapa sampai sekarang Allah belum memberikan apa yang kamu inginkan, bisa jadi Allah sudah mempersiapkan sesuatu yang lebih indah dari itu. Allah hanya ingin melihat seberapa sabarnya dirimu. Apakah kamu akan terus-terus mengeluh, lalu menyesali diri. Atau ikhtiar dan selalu meminta yang terbaik kepada-Nya? Ingat Nia, Allah itu senang pada hamba-Nya yang merintih mengharapkan bantuan-Nya. Allah senang jika seorang hamba selalu ingat pada-Nya. Maka dekati Allah, nak. Mintalah apa saja, minta yang terbaik. Maka semuanya akan terasa menjadi mudah."

Aku termangu. Ucapan Ibu memberiku secercah harapan. Ya, kenapa Aku harus bersedih, jika saat ini Aku punya Allah yang selalu tahu dan selalu bersedia menolongku? Kenapa Aku bersedih, jika apa yang terjadi di muka bumi ini, sejatinya berada di bawah kendali Allah, pemilik alam semesta?

Hasbunallah wani'mal wakill...

"Makasih, bu."

00000

22/11/21

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now