Epidode dua puluh tiga

394 32 0
                                    

"Jadi..." Mimi menggantungkan katanya, lalu menyerahkan sekotak nasi bersama segelas teh manis yang tempat penyimpannya mirip seperti kopi-kopi instan yang bisa dibeli di bandara kepada bapak-bapak yang berdiri di depan Aku dan Mimi. "Benar, kak Nia akan menikah?"

Pergerakan tanganku mengambil nasi di dalam kardus yang lumayam besar, terhenti seketika. Cepat juga kabar pernikahanku tersebar.

Waktu dua hari yang diberikan untukku, sudah cukup menjawab lamaran yang datang kepadaku. Mulanya, aku ragu apa jawaban yang harus kuberikan, mengingat perkenalan kami yang singkat, dan mendapati kenyataan aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Hanya sebagai pimpinan yayasan Ahmad Yahya. Itu saja.

Keesokan harinya, disaat hati masih tarik ulur, sebuah pesan berupa nomor handphone dengan foto profil stetoskop dan kertas resep masuk ke dalam Whatsapp-ku. Merasa tidak mengenalnya dan tidak ada foto seseorang di sana, membuatku semakin bingung.

Aku tidak merasa punya kenalan dokter. Bahkan lingkaran pertemananku kebanyakan yang satu jurusan ataupun satu fakultas, yang kebetulan kadang bertemu di masjid kampus. Tapi dokter? Rasa-rasanya tidak. Apalagi, semasa kuliah, bukankah fakultas kedokteran selalu diletakkan terpisah dari fakultas lain? Dan cenderung lebih dekat dengan rumah sakit?

Entahlah, kalau yang mengirimkan pesan ini dari teman SD ataupun SMP.

Dan kebingunganku terjawab setelah dia memperkenalkan diri sebagai Naya Ahmad, adik perempuan satu-satunya Zain Shalahuddin Ahmad. Putri bu Hafsah.

Naya : assalamualaikum, Nia?
Pasti bingungkan tiba-tiba mendapatkan pesan dari orang yang tidak dikenal? 😉
Perkenalkan, namaku Naya Ahmad, biasa dipanggil Nay, atau kadang Aya.
Aku adiknya bang Zai, yang kemarin datang berkunjung ke rumahmu.

Aku : waalaikumsalam, eh, iya.
Maaf, makanya aku pikir nggak pernah punya kenalan dokter,
Oke. Salam kenal kalau begitu. Aku Rania Rasyid.

Naya :
Its oke.
Karena sekarang udah tahu, jd kita bisa ngobrol-ngobrol ringan dong, ya?
Btw, kalau kamu merasa nggak begitu kenal sama abang Zain, kamu bisa mengandalkanku, Nia.
Aku juga pernah kok, berada di posisi kamu. (Malah curcol)
Dulu, aku malah bingung waktu dilamar suamiku, padahal aku lagi koas waktu itu. Yeah, kamu tahulah gimana jadi koas itu? Harus siaga setiap saat. Sibuk banget.
Oke, oke. Kalau aku ceritakan kisahku, ntar ga cukup sampai besok.
Tapi, aku senang lo, tahu bang Zain akhirnya mau nikah juga. Sama kamu lagi. Soalnya, bunda sering banget ngomongin kamu ke Aku, dan tidak pada bang Zain pastinya. Ntar dia malah kepingin cepat nikah, hahahaha.

Lupakan! Jd, kalau kamu mau tahu seperti apa bang Zain itu, kamu bisa bertanya kepadaku kapan saja. Lagipula, im always free. Bosan banget di sini, setiap hari cuma nungguin suami pulang dari belajar dan rumah sakit. You knowlah, begitu hectic-nya jadi dokter itu.

Lalu, kali lain, saat aku bicara dengan bapak di teras belakang--yang akhir ini menjadi tempat curhatku sama bapak--bapak juga bertanya seperti apa perasaanku sekarang.

Gamblang, aku jelaskan semuanya kepada bapak. Tanpa takut ataupun malu. Bercerita kepada bapak mampu menghilangkan rasa resah di hatiku, selain curhat dan meminta tolong kepada Allah tentunya. Seperti memahami ketakutan yang kuhadapi, bapak selalu mampu membuat rasa bimbangku hilang perlahan.

"Seberapa yakin kamu dengan Zain?" Tanya bapak saat itu.

"Mungkin mendekati seratus persen, pak!" Jawabku, bingung dengan pertanyaan bapak.

"Kenapa?"

"Yaah, karena Nia merasa dia laki-laki yang baik. Dia mempunyai visi dan misi seperti apa yang Nia inginkan."

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum