Episode tiga belas

298 34 0
                                    

Aku pulang menjelang pukul enam sore. Tepat saat azan magrib berkumandang. Ibu terlihat sedang melayani pembeli terakkhir sebelum akhirnya menutup kedai kecilnya.

Bapak tidak terlihat di depan televisi, tempat favoritnya. Kupastikan bapak sudah melangkah ke masjid untuk menunaikan salat. Gontai, aku melangkah masuk ke dalam kamar. Menyalakan lampu. Meletakkan tas, membuka hijab, lalu duduk sebentar, menghela napas, sebelum beranjak ke kamar mandi untuk mandi dan berwudu.

Tiga puluh menit, aku sudah menyelesaikan semuanya. Mandi, berpakaian, salat dan membaca al-quran satu lembar. Seketika, hati yang tadi gundah gulana perlahan membaik. Suara bapak sudah terdengar di ruang tamu, berbincang bersama Ibu. Aku memutuskan ikut bergabung ke luar dan berencana akan memberitahukan kalau ponselku rusak dan sedang diperbaiki.

Belum sampai langkahku ke depan pintu, suara Ibu sudah dulu menyapa gendang telingaku.

"Nia!" Panggil Ibu. Aku membuka pintu. Ibu memberikan ponsel ke tanganku. "Ponsel kamu mati ya, nak? Ini uwak Fitri dari tadi telpon kamu, katanya gak aktif. Makanya dia telpon Ibu nanyain kamu."

Ibu menyodorkan ponselnya. Aku menerimanya malas-malasan. "Kalau sudah selesai, ke meja makan ya, nak! Kita makan malam."

Aku mengangguk. Lalu menempelkan ponsel milik Ibu ke telinga.

"Assalamualaikum, wak!" Terdengar helaan napas.

"Waalaikumsalam!" Suara Uwak Fitri terdengar tidak bersahabat. "Kamu kemana aja sih, Nia? Ditelpon dari tadi gak nyahut-nyahut! Teteh kamu dari tadi nelponin kamu, kenapa lamaran kamu belum dikirim? Temannya udah nungguin dari kapan tahu! Kamu gimana sih? Kok gak tanggung jawab begitu? Teteh kamu itu orang sibuk! Dia gak punya banyak waktu buat ngurusin hal remeh-temeh begini! Gak kasihan kamu apa sama teteh, kamu? Dia yang jadinya disalahin sama temannya!" Aku tidak tahu, sebegitu cepatnya uwak Fitri berbicara hanya untuk mencercaku. Bahkan dia tidak memberikan kesempatan untukku menjawab.

"Wak, tadi ponsel Nia--"

"Uwak pikir kamu itu bisa diandalkan! Uwak pikir, kamu niat buat cari kerja! Gak tahunya kamu malah begini! Senang banget ya, kerja minta sumbangan rumah ke rumah?! Kaya peng***is aja!!"

Klik. Telepon terputus sepihak. Tapi bukan itu yang menyakitkan. Perkataan terakhir uwak itu yang sangat menyakiitkan. Menghujam masuk, menusuk jantungku. Aku terbunuh, tapi tak berdarah. Aku terdiam tanpa tahu harus berbuat apa.

"Niaa..." suara lembut Ibu kembali terdengar di depan pintu. Aku tergugu. Bagaimana mungkin dua orang yang dilahirkan dari satu rahim yang sama mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang. Ibu dengan segala kelembutannya. Sementara uwak Fitri...

"Nia, kok malah bengong? Yuk, makan! Ibu masak makanan kesukaanmu, lho!" Ibu tersenyum tipis. Sembari mengambil ponsel miliknya dari tanganku. "Apa kata uwak Fitri, nak?!"

Mendengar pertanyaan Ibu, tanpa bisa kubendung, air mata yang dari tadi berusaha kutahan, akhirnya luruh juga. Turun deras membasahi kedua pipiku. Tangisan yang tadinya pelan, berubah menjadi keras, hinggakan aku merasa dadaku amat sesak oleh rasa sakit karena perkataan uwak Fitri.

"Niaa!! Kamu kenapa, Nak?! Uwak Fitri bilang apa ke kamu, Sayang?!" Raut wajah Ibu terlihat cemas. Ditariknya tubuhku ke dalam pelukannya. "Cerita sama Ibu, nak! Ceritalah..." Ibu mencium puncak kepalaku berkali-kali. Bukannya mereda, tangisku semakin bertambah-tambah, membuat bapak yang sedang di meja makan ikut bergegas masuk ke kamar.

"Nia, kenapa kamu, nak?!" Bapak ikut mendekat. Mengusap pelan kepalaku.

Aku menyusut tangis. Mencari alasan tepat kenapa aku menangis. Tidak mungkin aku mengatakan kalau uwak Fitri habis mencercaku dengan kalimat yang tidak pantas.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang