Episode dua puluh enam

878 42 2
                                    

Dan di sinilah Aku, duduk dengan tangan gemetar saat di ruang tamu, para tamu dan penghulu mengucapkan kata SAH secara serempak. Akhirnya, di usiaku yang hampir mencapai dua puluh tiga, aku sudah menyandang status Istri dari seorang laki-laki bernama Zain Shalahuddin Ahmad. Laki-laki yang kelak akan jadi pembimbingku, yang akan meluruskanku ketika Aku salah, yang akan menyayangi dan mencintaiku segenap jiwa raganya, yang akan memapahku, disaat Aku hampir terjatuh, dan yang akan menggenggam tanganku, dan mengajakku bersama menuju surganya Allah.

Bu Hafsah, duh, maksudku bunda, berkali- kali menitikkan air mata saat ijab qabul resmi selesai. Beliau, tanpa sungkan memelukku hangat. Mengucapkan terima kasih karena telah menjadi menantunya. Padahal, kalau boleh kukatakan, justru Aku lah yang seharusnya berterima kasih. Allah sudah memberikanku seorang Mertua yang baik dan hangat hatinya. Bahkan, dia juga menganggapku seperti putri kandungnya sendiri.

Naya memeluk dan menciumku penuh suka cita. Untuk pertama kali Aku bertemu Zidan-putra Naya-dan suaminya Ibra yang terbang langsung dari Jepang. Sungguh kebahagiaan yang luar biasa, ketika semua bergembira karena pernikahanku.

Keluarga besar Ibu turut senang dan memberikanku bertubi-tubi ucapan selamat. Sementara dari keluarga bapak, hanya pak etek dan mak uwo saja yang datang. Selebihnya mengucapkan selamat melalui panggilan video, bahkan aplikasi chat. Dan meminta Aku dan Zain, untuk berkunjung ke Padang. Nanti, akan mereka bawa Aku berkeliling Bukittinggi, melihat Jam Gadang yang menjadi ikon kota pariwisata itu.

Aku merasa dihadiahi cinta yang bahkan tidak akan mampu untukku balas. Sungguh, Allah Maha Baik. Tanpa campur tangan Allah, maka kebahagiaan ini tidak akan mungkin terjadi. Bagaimana dulu Aku tertatih-tatih mencari dan mengirim lamaran pekerjaan. Dan Allah sungguh punya rencana baik kenapa lamaranku tak kunjung di jawab. Ternyata inilah jawabannya.

"Yuk, ke depan! Temui suamimu!" Bisik Ibu di telingaku. Sesaat Aku menoleh pada Ibu. Kami berpandangan lama. Tiba-tiba air mataku turun begitu saja. Tak kuasa menahan tangis, Aku memeluk Ibu. Oh, Ibu...rasanya berat harus berpisah dengan wanita yang sudah teramat sabar ini dalam mengurusku. Tanpa didikan Ibu, mungkin tidak akan ada Aku yang sekarang. Ibu yang lembut, penuh kasih, adalah tumpuan hidupku. Dan sekarang, beliau harus rela melepaskanku ke tangan suamiku.

"Nia sayang Ibu," bisikku di sela-sela tangisku.

"Ibu juga, Nak! Sampai kapan pun!" Lalu melepaskan pelukannya. "Sudah-sudah, jangan nangis lagi! Ini hari bahagia! Gak baik pengantin nangis!" Candanya seraya menuntunku ke ruang tamu.

Aku berjalan diiringi oleh Ibu dan Bunda. Dapat kurasakan berpasang-pasang mata melihatku yang berjalan menunduk. Saat mencapai Zain, jantungku berdegup kencang. Saat penghulu memintaku mencium tangan Zain, kurasakan tangannya dingin dan gugup. Ternyata kondisi kami tidak jauh berbeda.

Akhirnya kuberanikan untuk mengangkat kepalaku. Tidak mungkin selamanya Aku menghindari tatapannya. Toh, sekarang kami telah sah! Mata kami bertemu. Seperti ada magnet yang mengikat kami kuat, tatapan kami hanya terpaku pada mata masing-masing. Sepersekian detik berlalu, Zain menyunggingkan senyumannya, memperlihatkan senyuman yang manis, yang akan kupatri di hati dan ingatanku untuk selamanya.

Tanpa bisa kucegah, aku juga turut menyunggingkan senyum.

"Selamat datang di dunia penuh warna, Nia! Dunia antara Aku dan Kamu! Dan semoga Allah akan selalu meridhoi setiap perjalanan cinta kita. Menghadirkan cinta yang semata-mata hanya karena Allah. Memberikan kita keturunan yang akan selalu berada di jalannya Allah dan Rasulullah!" Lirihnya, yang hanya terdengar olehku.

Serentak, kami berdua mengucapkan Aamiin berkali-kali. Dan lagi-lagi hanya bisa didengar oleh kami berdua.

Ah, betapa bahagianya Aku sekarang.

00000

END

09/12/21

PHI

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now