Episode dua puluh dua

274 34 0
                                    

Kenyataan kalau waktu yang ditentukan itu telah tiba, membuat keringat dinginku muncul begitu saja. Berkali-kali aku keluar masuk kamar mandi untuk menghilangkan gugupku. Tidak pernah terbayangkan kalau hari ini aku akan bertemu dengan laki-laki yang jika semuanya cocok, akan menjadi calon suamiku.

Detak jantung yang berdenyut begitu cepat, hingga perut yang terasa mulas, padahal Aku tidak sedang halangan atau memakan sesuatu yang salah, membuat mood-ku sedikit berantakan.

Gamang, aku buka al-quran. Membacanya lirih. Kenyataan, sekitar enam ayat membuatku tenang, kusudahi membacanya, lalu menutupnya. Dulu, menghadapi interview pekerjaan, aku tidak segugup ini. Ini melebihi ketakutanku dari ditolak oleh perusahaan incaranku.

Aku duduk di tepi ranjang, saat Ibu mengetuk pintu kamarku. Dan mengatakan kalau Ibu Hafsah sudah di depan pintu. Itu artinya, ayo bersiap-siap ke ruang tamu, Nia.

Aku mengangguk. Menatap pantulan diriku di cermin. Bahkan Aku tidak mempersiapkan diriku sebaik mungkin. Penampilanku tetap seperti hari-hari biasanya. Tidak ada yang spesial. Aku tidak perlu membeli baju, memoles wajah dengan make-up walau kenyataannya, aku suka diriku yang apa adanya. Resah sekali harus berpenampilan demi menarik hati orang lain. Dan akhirnya menarikku pada kesimpulan ; itulah kenapa aku masih tidak diterima bekerja diperusahaan yang menjadi incaran kaum fresh graduate, karena Aku saja nyaman dengan diriku yang sekarang, alih-alih ingin merombak penampilanku sedikit walau hanya sekedar memoles lipstik di bibir.

Suara bu Hafsah terdengar di ruang tamu. Berikut suara ramah Ibu, lalu bapak, lalu suara laki-laki tua, dan suara...anak laki-laki bu Hafsah.

Aku berdiri di pintu kamarku. Mencoba mencuri dengar. Hanya samar-samar. Sampai, lima belas menit kemudian, Ibu muncul dengan senyum di wajah. Memintaku untuk segera keluar.

Aku berjalan di belakang Ibu. Menunduk. Kenyataan tidak berani mengangkat wajah, membuatku harus tersandung kaki kursi.

"Jangan gugup, Nia" Ibu berbisik. Lalu menggamit tanganku untuk duduk di antara bapak dan Ibu.

"Sudah lama kita tidak bertemu ya, Nia." Suara bu Hafsah membuatku mengangkat kepala, langsung menuju wajah beliau. Kulihat sinar kehangatan terpancar di wajah dosenku itu. Tak ada yang berubah dari bu Hafsah. Masih sama seperti terakhir kali Aku bertemu. Hanya saja raut bahagia terpancar di sana.

"I..iya, bu!" Duh, bagaimana menghilangkan rasa gugup ini? Aku meremas tanganku sendiri.

"Sebaiknya kita mulai saja, ya." Suara laki-laki tua yang duduk di samping bu Hafsah terdengar memecah keheningan. "Alhamdulillah, akhirnya kita bisa berkumpul di sini, dalam suasana yang semoga saja di ridhoi oleh Allah. Aamiin. Sesuatu yang baik akan selalu sampai kepada orang-orang yang mau menjaga dirinya dengan baik. Seperti kedua anak-anak kita ini. Rania dan Zain. Saya sangat bersyukur, akhirnya sampai juga anak laki-laki kami Zain di tangga yang selangkah lagi mengantarkannya ke kehidupan yang baru. Hmm, baiklah, tidak memperpanjang waktu, mari Zain dan Rania saling berkenalan.." ucapnya terdengar jelas.

"Ayo Zain dan Nia." Entahlah. Aku merasa kepalaku seperti dihimpit beban yang teramat berat, sehingga untuk mengangkat saja terasa sulit. Mengucapkan basmalah berkali-kali, tak lupa berzikir, kuberanikan mengangkat kepala, pertama-tama Aku melihat wajah bu Hafsah, lalu wajah laki-laki di samping bu Hafsah. Dan terakhir wajah laki-laki yang ingin diperkenalkan kepadaku.

Duniaku seperti berhenti berputar saat pertama kali melihat raut wajah laki-laki bernama Zain itu. Mendadak kepalaku dihinggapi berbagai macam ketidak mengertian yang berkelindan.

Laki-laki itu...
Dia memperkenalkan diri sebagai Zain. Tapi bukankah dia adalah...Ahmad Yahya?!

Aku terdiam dalam posisi yang membuatku seperti orang bingung. Kenapa dia ada di sini? Apa ini tidak salah? Berbagai macam pertanyaan bermain di kepalaku.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now