Episode sembilan belas

331 34 1
                                    

Kalau ada yang bilang, toilet adalah tempat seluruh rahasia bisa terbongkar, mungkin benar adanya. Toilet, yang seharusnya bukan tempat untuk berdiam diri lebih lama--karena ini adalah tempatnya setan bersembunyi--menjadi tempat yang sepertinya disenangi untuk berlama-lama di dalamnya, terutama oleh kaum hawa untuk sekedar bercerita, membenarkan hijab, menelepon seseorang atau yang lebih dahsyatnya melakukan swafoto lalu diunggah ke media sosial.

Seperti toilet mall yang selalu dibersihkan oleh cleaning service, tak ayal lagi, membuatku melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Untung saja panggilan alam datang, sehingga Aku punya alasan kenapa harus masuk ke toilet.

Tanganku sudah bergerak ingin membuka pintu, saat bunyi pintu dari toilet di sebelahku terbuka. Lalu suara perempuan yang terdengar parau membuatku urung untuk keluar.

"I'm pregnant! Your baby..." hanya orang bisu yang mungkin tidak bisa mendengar apa yang diucapkannya barusan. Pregnant? Hamil? Bukannya bagus.

"I want you meet my mom and my dad. Tomorrow!" Tekannya bersamaan dengan deru tangisnya yang coba dia tahan.

Ya Allah, ini tidak benar. Kenapa aku jadi menguping begini? Tidak boleh menguping pembicaraan orang lain. Akhirnya, setelah memutuskan untuk tidak ingin tahu lebih lanjut lagi, aku membuka pintu toilet, berjalan keluar berpura-pura tidak melihat dan mendengar apa-apa.

Namun, pantulan kaca besar di depanku, memperlihatkan seraut wajah yang sangat Aku kenal, dan juga sedang menatapku dalam mode hening yang mencekam.

Mulutku hampir terangkat untuk menyapa, saat kusadari tidak ada orang lain di dalam toilet selain kami berdua. Dan otakku mendadak blank saat teringat pembicaraan yang kudengar sebentar tadi.

Jangan katakan...
Jangan katakan kalau...
Ya Allah, tolong, jangan katakan...

"Ni..Nia..." suarnya bergetar memanggil namaku. Wajahnya pias bersamaan dengan bibirnya yang terkatup erat. Bola matanya berputar ke sana kemari menghindari tatapan mataku yang bingung mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.

"Teh Diana, bukannya uwak bilang, Teteh di Surabaya?" Pertanyaan itu yang terlontar dari mulutku.

Tubuh kurus itu hampir limbung. Ponsel di atas meja wastafel terlihat masih menyala. Seseorang berteriak-teriak di ujung sana.

"Are you okay? Hello...helloooo...." dengan satu kali tekanan, panggilan itu terputus. Menyisakan hening di antara kami berdua. Teh Diana menyusut air matanya. Hidungnya terlihat kemerahan.

"Teh, maaf kalau--"

"Bisa kita bicara, Nia? Se..sekarang?!" Tekannya.

Tak punya pilihan lain, akhirnya aku hanya bisa mengangguk, dan mengikuti langkah kakinya berjalan menjauh dari toilet. Mencari tempat yang tenang. Di sudut musalla.

00000

Kalau ada tempat berlabuh yang paling indah, maka itu adalah rumah. Bagiku, rumah adalah segalanya, tanpa terkecuali. Meski terkadang, rasa bosan kerap mendera karena sesekali otak juga butuh penyegaran. Memiliki Ibu dan Bapak yang sangat perhatian kepadaku, menyayangiku, tahu kapan harus menasihatiku, tidak pernah memaksakan apa yang tidak aku sukai--selama tidak bertentangan dengan nilai agama, membuatku, menjadikan rumah sebagai istana yang tidak akan pernah bisa aku tinggalkan.

Tempat aku besar, tempat aku mengenal benar dan salah, tempat masa kecil, remaja, mungkin juga dewasa dan masa tuaku, nanti.

Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah menganggap rumah sebagai rumah mereka? Mereka berada di dalamnya, namun hati mereka tidak ada di sana. Hanya ada kegersangan. Kering, seperti rumput hijau yang perlahan menguning, karena tidak pernah tersiram hujan.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now