Fragmen

729 47 6
                                    

"Minggir!"

Beberapa orang-orang yang berkerumun mengurai ketika teriakan panik menyapa gendang telinga mereka. Salah satu dokter jaga yang memang bertugas di UGD beserta dua orang perawat bergegas menghampiri seorang laki-laki yang tengah menggendong perempuan yang terkulai lemah, pucat di pangkuannya. Dress di bawah lutut berwarna krem sudah habis dipenuhi oleh darah.

"Letakkan di sini!" Perintah salah seorang dokter yang mengenakan baju scrub berwarna biru. Dia meletakkan stetoskop dengan benar ke telinganya.

"Keguguran?" Tanya dokter itu sambil melakukan pemerikasaan.

"Aborsi dengan meminum obat sendiri, dok" beritahu laki-laki itu, sambil mengeluarkan kemasan obat dan menyerahkan ke tangan dokter di depannya. Dokter itu melipat dahi. Membaca nama obat yang tertera di bungkusan dari aluminium foil. Lalu menghela napas.

"Silakan tunggu di luar, dan urus administrasi!" Suruh dokter itu lagi. Namun, berbalik dan meneliti lelaki di depannya dengan pandangan menyelidik. "Anda suaminya?"

"Bukan, dok! Dia adik saya! Diana!"

Seperti paham, dokter itu tidak bertanya lagi. Dan bergegas masuk ke dalam ruangan, dan meminta perawat menelepon dokter kandungan.

Tak berapa lama, derap langkah yang makin lama semakin terdengar jelas berlarian menghampiri lelaki itu. Salah seorang perempuan yang dengan usia di atas lima puluh menangis terisak. Wajahya sudah sembab karena menangis terus. Penampilannya sudah tidak dia pedulikan lagi. Baginya keadaan anak perempuannya lebih penting dari apapun. Bahkan nyawanya sendiri.

"Dianaa!!" Panggilnya, menatap ke arah ruangan anaknya di bawa.

"Tenang, Ma! Diana sudah ditangani!" Elus laki-laki itu kepada Ibunya.

"Bagaimana Mama bisa tenang, di?! Adik kamu lagi dalam bahaya! Semua salah Mama karena terlalu keras sama Diana! Bukannya memberi solusi, Mama malah..."

"Sstt! Ini rumah sakit, Ma! Lebih baik Mama tenang dulu, ya?! Kalau begini, gula Mama bisa drop!" Ucap anak laki-lakinya menasihati. "Kita duduk di sana dulu!" Memapah Mamanya untuk duduk di bangku yang disediakan rumah sakit.

"Diana pasti baik-baik saja, Ma!" Ucapnya menenangkan. Menghela napas berat.

0000

Aku berlari secepat mungkin, tak peduli dengan Zain yang tertinggal di belakangku. Begitu dia mematikan mesin mobilnya, membuka pengunci pintu otomatis, aku langsung membuka pintu dan bergegas turun.

"Diana keguguran. Tepatnya menggugurkan kandungan sepihak!" Beritahu Ibu, dua hari yang lalu. Aku yang sedang berada di salah satu tempat, mengikuti Zain yang tengah berbisnis di luar kota, sontak terkejut tak percaya.

"Innalillahi wainna ilaihi rojiun..." aku menutup mulut dengan satu tanganku.

Menurut cerita Ibu, teh Diana seharian tidak keluar dari kamar--ya, setelah pernikahanku, teh Diana masih tinggal bersama Ibu. Uwak Fitri tampaknya masih marah karena masih belum bisa menerima perbuatan yang dilakukan anaknya. Sebagai orang tua yang selalu membanggakan anak perempuannya, perbuatan Teh Diana telak menghancurkan reputasi yang telah dibangun Uwak Fitri dengan susah payah. Setiap saat sindiran selalu datang menyapa Uwak. Bahkan sampai membuat Uwak Fitri stress.

"Nia! Hati-hati!" Seru suara Zain di belakang. Aku menghentikan langkah. Menunggu sampai Zain mendekatiku.

Aku mengulum senyum tipis. "Maaf, ya, Aku hanya ingin melihat teh Diana sekarang!" Merasa bersalah, karena Aku benar-benar lupa, sekarang Aku bukan Rania yang sendiri lagi.

Zain mengambil satu tanganku, tersenyum. "Gak papa, Nia!" Tatapnya teduh. Mengeratkan genggamannya. Hatiku menghangat.

"Oh, itu kamarnya!" Tunjukku kaku. Saat kusadari, tatapan Zain masih tetuju telak kepadaku.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now