Episode sepuluh

271 28 0
                                    

Tadi malam Yani menghubungiku. Aku senang. Setelah hampir empat bulan kami saling tidak berkomunikasi, Yani meminta bertemu.

Bertemu di luar. Dan sekarang, aku sudah berada di depan pintu masuk kafe yang disebutkan Yani semalam.

"Nia, mungkin aku akan terlambat datang. Kamu masuk saja duluan ya, tolong carikan tempat duduk. Aku harus bertemu orang di tempat lain."

"Aku pasti datang, kok! Rindu banget sama kamu."

Aku melangkah masuk ke dalam kafe yang tidak begitu ramai. Dari dua belas meja, hanya tiga meja yang diisi pengunjung. Seorang pekerja di kafe itu menghampiriku. Bertanya, apakah aku akan minum dan makan di sini. Aku mengangguk, bilang sedang menunggu teman. Jadi tidak ingin memesan dulu. Pekerja kafe itu tersenyum mengerti, lalu menyuruhku memilih salah satu meja.

Karena kafe ini dibuat senyaman mungkin, aku tidak keberatan duduk di mana saja. Akhirnya mataku menangkap salah satu meja paling ujung, paling sepi dan dekat ke jendela besar yang menghubungkan ke arah taman yang sengaja di buat untuk memanjakan mata.

Aku meletakkan tas di atas meja. Mulai mengeluarkan buku novel yang belum lama ini kubeli. Sekedar membunuh waktu. Sejujurnya, aku bukan pencinta novel. Tapi karena novel ini begitu banyak berseliweran di Instagram, kuputuskan untuk membeli.

Aku hanyut dalam rangkaian kata yang indah. Larut dalam cerita yang membuatku serasa berada di dalam ceritanya. Sampai--

"Maaf, mbak! Ini tempat duduk saya." Suara seseorang persis mampir ke telingaku. Buku yang kupegang jatuh ke pangkuan, bersamaan dengan wajahku yang terangkat menatap sesosok tubuh jangkung yang berdiri persis di depanku. Hanya lima puluh senti meter jarak kami.

Aku melipat dahi. Membenahi bukuku, menutupnya. "Maaf, tadi saya nggak melihat ada tanda kalau meja ini sudah diisi orang lain." Jelasku. Menatapnya sekilas.

Laki-laki jangkung itu berjalan ke seberang meja. Lalu mengangkat tas dan jaket yang teronggok di balik meja. Menunjukkan kepadaku kalau barang miliknya sudah berada di sana sejak tadi.

Aku meringis malu. Perlahan memasukkan buku dan tas, lalu bergegas bangkit. "Maaf ya, Mas. Saya nggak lihat-lihat tadi. Langsung main duduk saja." Aku berjalan meninggalkan meja itu dengan perasaan malu. Lalu mencari tempat yang kuyakini masih kosong.

Baru mendudukkan pantatku di kursi, Yani sudah melambaikan tangannya di depan pintu. Tersenyum lebar. Aku balas melambai. Sedetik kemudian kami sudah duduk saling berhadap-hadapan.

"Ya Allah, Nia. Kanget banget tau, sama kamu. Gimana kabarmu? Sehat, kan?" Yani bertanya dalam satu tarikan napas. Seakan kami tidak punya waktu untuk saling bertukar kabar. Aku tertawa. Menjawir hidungnya.

"Alhamdulillah sehat. Aku juga kangen sama kamu." Kami bertatapan penuh arti. Mengenang masa-masa kuliah.

"Apa kegiatan kamu sekarang? Udah ada panggilan kerja, belum?"

"Belum, masih menunggu. Kamu gimana? Progres buku perdanamu gimana? Dijawab nggak, lamaran kamu di penerbit itu?" Tanyaku beruntun. Lalu apa bedanya aku dari Yani kalau caraku bertanya juga dalam satu tarikan napas.

Yani tersenyum simpul. "Alhamdulillah bukuku laris. Tapi aku gak jadi kerja di tempat impian aku, Nia. Justru aku dapat tawaran kerja di perusahaan periklanan. Sekarang sudah sebulan lebih aku kerja di sana. Yah, walau sedikit kaku karena merasa anak bau kencur. Tapi senior di sana baik-baik banget. Kalau kamu mau, aku bisa kok, masukin lamaran kamu. Katanya ada lowongan yang kosong untuk fresh graduate. Tapi, jalur masuknya gak pintas ya, Nia. Senormal kamu masukin lamaran, nunggu dipanggil, wawancara, nunggu lagi, wawancara lagi, baru diterima!" Jelas Yani, tertawa.

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now