Episode sebelas

337 29 1
                                    

"Nia--?!"

Buah apel di tangan hampir terlepas begitu suara seseorang memanggil namaku, bersamaan dengan tangannya yang menyentuh pundakku. Aku terdiam beberapa saat, mencoba menetralisir denyut jantung yang tiba-tiba berdetak sangat cepat. Bukan apa-apa. Aku hanya takut, betapa banyak modus penipuan dengan cara hipnotis, lalu mengambil milik korbannya yang diberikan secara sukarela.

Aku melantunkan istighfar. Menoleh ke samping. Perlahan, ketakutan mengendur dari wajahku. Irama jantung kembali berdetak normal begitu mengetahui siapa yang memanggil namaku barusan.

"Bu Hafsah?" Aku tak kalah terkejut melihat siapa yang berdiri di sampingku sekarang. Bu Hafsah--dospem penelitanku, tersenyum memamerkan barisan giginya yang rapi. Selalu, tak pernah senyum alpa dari wajahnya. Hal yang kusuka dari dosen berusia lima puluh tiga tahun ini.

"Pertemuan yang menyenangkan." Ucapnya.

Aku meraih tangan dosenku itu, menyalaminya. "Ibu apa kabar?"

"Alhamdulillah sehat. Kamu sendirian?" Aku mengangguk. "Wah, sama dong. Lagi borong, ya?"  Intipnya ke dalam keranjang yang hampir penuh.

"Pesanan Ibu di rumah, bu." Jawabku. "Ini juga sudah mau ke kasir." Aku melirik ke arah deretan kasir yang masih ramai oleh orang-orang yang mengantre untuk membayar.

"Ibu juga sudah mau selesai. Gimana kalau habis ini, kita ngobrol dulu?" Tawarnya, sambil mengayunkan langkah. "Di depan swalayan ada restoran, kita makan di sana, ya?"

Aku ingin menolak, tapi sungkan.  Bu Hafsah adalah dosen yang low profile di antara dosen di kampusku. Meski beliau adalah ketua jurusan, beliau tidak pernah sombong dan merasa paling penting. Itu bisa dibuktikan dari kesiapan beliau diganggu oleh mahasiswa-mahasiswanya.

Beliau juga tidak sungkan jika ada mahasiswa yang ingin bertanya di luar jam kuliah. Meski, hampir jarang juga yang mau mengganggu beliau.

Kami duduk di meja yang dekat dengan pintu keluar. Bu Hafsah datang bersama anak laki-lakinya yang kebetulan ada urusan di luar, sehingga men-drop-kan bu Hafsah di swalayan ini. Dari sini, bu Hafsah bisa melihat kalau-kalau nanti anaknya datang menjemput.

"Jadi, apa kegiatan kamu sekarang Nia?"  Tanya beliau yang kubalas senyuman kaku.

"Masih sibuk nyari kerjaan, Bu."

Seorang pramusaji datang membawakan nampan berisi  pesanan kami. Ternyata Bu Hafsah membawaku ke restoran soto Padang yang memang terlihat ramai. Dua mangkuk soto dan dua piring nasi putih diletakkan di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih, pramusaji tadi berlalu pergi.

Asap dari soto terlihat meliuk gemulai mengikuti arah angin. Bu Hafsah mengambil saus, kecap, dan cabe merah untuk dimasukkan ke dalam sotonya.

"Gak pa-pa, Nia. Romamtika nyari kerja itu, yaaa, begitu. Susah-susah gampang. Gak selalu keberuntungan itu ada dipihak kita." Bu Hafsah menyuap sotonya. Aku ikut melakukan gerakan yang sama. "Dulu, saat seusia kamu, Ibu juga merasakan apa yang kamu rasakan sekarang. Nyari kerjaan kemana-mana. Terserah, yang penting kerja. Karena kalau gak kerja, Ibu merasa malu jadi anak. Orang tua sudah susah payah nyekolahin. Sekarang ya giliran kita dong, yang berbakti. Senangin orang tua." Bu Hafsah mendongak, lalu tersenyum.

"Iya, bu."

"Akhirnya malah terdampar jadi dosen." Senyumnya. "Tapi, Ibu mulai menyadari, kalau tamat kuliah itu, seharusnya kita gak terlalu muluk-muluk buat mencari kerja. Kenapa gak menciptakan lapangan pekerjaan? Yah, meskipun  gak sedikit juga yang berkomitmen, tamat kuliah ya, harus kerja."

Aku tersenyum tipis. Bu Hafsah terlihat menikmati hidangannya. "Lalu, kegiatan kamu selain mencari lamaran pekerjaan, apa lagi?"

"Paling bantu Ibu di rumah, bu. Aktif lagi di organisasi remaja masjid. Terus ngasih les anak-anak SD."

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant