Episode Dua Puluh Empat

382 34 0
                                    

Usiaku menuju dua puluh tiga, saat semuanya berubah begitu cepat. Adakalanya Aku merasakan ini seperti mimpi yang teramat indah sekaligus menakutkan. Bagaimana dalam usia yang menurutku masih muda, memutuskan untuk segera menikah. bahkan untuk membayangkannya saja, tidak pernah terlintas di kepalaku.

Hanya karena ketertarikan seorang Dosen Pembimbing, dia memintaku menjadi menantunya. Dan yang tak pernah kusangka, anak laki-lakinya adalah orang yang sama yang pernah menolong Pak Hasan dan keluarganya. Ngomong-ngomong, kondisi pak Hasan dan keluarganya sekarang sudah menjadi lebih baik. Mereka sudah berkumpul bersama menjadi keluarga yang utuh. Mira dan Santi juga tetap melanjutkan pendidikan mereka di sekolah yang bernaung di bawah bendera Ahmad Yahya. Sementara pak Hasan, tetap melakukan pengecekan berkala tentang kondisi matanya. Dan sekarang pak Hasan juga sudah mulai bekerja sebagai petugas kebersihan di asrama milik Ahmad Yahya. Tidak lagi sebagai pemulung atau pun pekerja serabutan.

Kondisi anak bungsu pak Hasan juga menjadi lebih baik, meski tetap berada di bawah kontrol dokter anak dan bedah syaraf. Aku selalu yakin, pertolongan Allah itu nyata. Kadang kita saja yang selalu pesimis dengan pertolongan itu. Lihatlah pak Hasan. Meski hidup dalam kemiskinan, dia tetap yakin bahwa rezekinya pasti ada. Hal yang patut kupelajari dari pak Hasan. Bukankah Allah sendiri menjanjikan, bahwa sebelum ajal menjemput manusia, maka seluruh rezekinya akan dipenuhi semuanya? Lantas apa yang manusia takutkan, jika pemilik alam semesta saja sudah berjanji? Lalu kenapa kita harus tergesa-gesa menjemput rezeki, hingga tidak takut melakukan perkara-perkara yang mendatangkan dosa?.

Mengenai teh Diana, murung sudah menjadi teman hidupnya sekarang. Setiap hari dia hanya mengurung diri di kamar yang biasanya digunakan bapak untuk bekerja. Dan bapak harus rela memindahkan peralatan kantornya ke tempat lain.

Ibu sudah berkali-kali meminta uwak Fitri untuk datang menjenguk teh Diana ke rumah. Namun uwak Fitri masih bersikeras untuk tidak mau menemui anak bungsunya itu. Bahkan uwak Fitri malu dengan kelakuan anaknya yang sudah mencoreng nama baik keluarga mereka. Uwak Fitri juga bercerita teman-teman arisanya kerap kali menyindir uwak Fitri walau terkadang sindiran itu tidak langsung ditujukan kepadanya.

Aku sungguh menyayangkan sikap yang diambil uwak Fitri kepada teh Diana. Tapi, di satu sisi, Aku mengerti mengapa uwak Fitri bersikap seperti itu. Selama ini, uwak Fitri selalu membanggakan teh Diana kepada orang lain sebagai anak perempuannya yang hebat, yang berhasil dengan karier yang cemerlang. Bahkan, kepadaku sekali pun.

Sebagai orang tua, mungkin sangat dalam kekecewaan yang dirasakan uwak Fitri. Anak yang dia pikir bisa membanggakannya, justru menjatuhkannya ke tempat paling rendah dan hina. Uwak Fitri juga malu bertemu keluarga besar kami disaat ada pertemuan keluarga. Menurut uwak Fitri, dari seluruh keluarga besar kami, tidak ada yang hamil di luar nikah selain teh Diana. Dan itu sudah menjadikan beban mental untuk uwak Fitri.

Setiap hari, Ibu selalu menyajikan makanan sehat, jus buah dan susu hamil untuk teh Diana. Dan saat ibu ingin mengambil kembali perkakasnya, selalu balik dalam keadaan utuh. Tak tersentuh. Saat ditanya, teh Diana sudah bergelung di balik selimut tebalnya, menutup selimut hingga kepalanya.

"Diana gak bisa dibiarkan begini terus-terusan!" Ucap Bapak saat kami makan malam. Seperti biasa, tak pernah teh Diana ikut serta makan bersama walau bapak tidak keberatan, dan sebagai konsekuensinya, teh Diana harus mau mengenakan hijab di depan bapak.

"Rat sudah sering membujuknya, bang! Ngomong sama teh  fitri juga sudah." Keluh Ibu masgul. "Tapi dua-duanya keras kepala."

Bapak manggut. "Seminggu lagi pernikahan Nia. Kalau Diana begini terus, dia akan sakit. Mungkin kita tidak akan sibuk, tapi kita tidak akan fokus memperhatikan Diana, tentunya."

Ibu menggigit bibirnya, tanda paham. Lalu kami bertiga melirik pintu kamar tempat dimana teh Diana tidur.

"Mungkin, Nia akan coba bicara sama teh Diana, bu, pak!" Sahutku.

"Iya, tolong ya, Nia. Kalau perlu ajak saja Diana ikut kamu besok bersama bu Hafsah dan anak perempuannya, Naya. Siapa tahu mereka bisa membantu Diana mengurangi sedikit kesedihannya." Pinta Ibu yang secepat mungkin kuangguki.

Keesokan harinya, Aku sudah bersiap di depan pintu kamar teh Diana, untuk mengajaknya ikut serta. Bukannya segera bangkit, teh Diana malah menutup tubuhnya rapat-rapat dengan selimut. Jendela kamar dibiarkannya tertutup rapat. Tak ada penerangan. Gelap.

"Teh..." panggilku, mencoba membuka kepalanya yang terbungkus selimut. "Kita keluar yuk, teh! Cari angin! Setelah sebesar ini, kita tidak pernah lagi berjalan bersama. Dulu, saat masih sekolah, kita selalu pergi kemana saja asal bisa melihat udara luar. Ayo, kita ulangi lagi masa-masa itu, teh!"

Bereaksi. Kepala dari balik selimut itu tersingkap. Menyembulkan raut yang kusut, dan rambut yang mungkin sudah lama tidak disisir. Ada lingkaran hitam yang teramat jelas di bawah matanya. Juga mata sembab yang--mungkin--selalu menangis setiap malam. Hal itu kuketahui dari Ibu yang setiap malam berjaga untuk salat tahajjud. Dan kebetulan, kamar Ibu berada di sebelah kamar teh Diana.

Teh Diana menatapku datar. Lalu matanya berkilat marah. "Pergi saja sendiri! Tidak perlu ajak-ajak aku segala!" Pekiknya membuatku tersentak. Tidak menyangka reaksinya akan seperti ini.

"Tapi teteh tidak bisa terus begini! Tidak baik!"

"Tahu apa kamu soal diriku?! Kamu mengajakku ikut bersama agar aku bisa melihat betapa bahagianya kamu kan, Nia!" Dia tertawa sumbang. Kepalanya kembali siap untuk rebah. Tangannya hampir menarik selimut, namun segera aku cegah. Lalu menyibak selimut itu hingga seluruh tubuhnya yang tertutup gamis berwarna biru muda terlihat.

"Nia!" Jeritnya, marah besar kepadaku. "Kamu keterlaluan!" Kecamnya. "Kalau mau pergi, pergi saja sendiri! Aku tidak butuh dikasihani!"

Aku menghela napas, sembari melantunkan istighfar di dalam hati.

"Aku tahu teh Diana tidak butuh dikasihani. Tapi, dengan sikap teh Diana yang seperti sekarang, siapa pun yang melihatnya, pasti akan kasihan! Suka atau tidak suka. Kalau teteh ingin bangkit, maka ayo, berubah. Cari laki-laki yang enggan bertanggung jawab itu! Temui orang tuanya, dan minta anaknya bertanggung jawab sama perbuatannya!" Tekanku.

Teh Diana tertawa. "Nia, Nia! Kamu itu polos atau bodoh, sih?! Mereka itu kaum royal. Sekali menjentikan jari, mereka bisa mengubah semuanya. Termasuk melenyapkan aku!"

Aku menelan ludah, kasar. "Aku yang bodoh karena bermain api dengan hidupku sendiri! Jadi, biarkan aku yang menanggung kebodohanku ini!"

"Tapi pikirkan Mama dan Papa, teteh!"

Teh Diana mendelik. Menatapku tak suka. "Tak perlu sok membela Mamaku, Nia! Seharusnya kamu benci sama dia, karena dia selalu saja merendahkanmu!  Mengataimu tidak tahu balas budi, mengataimu karena berpakaian kolot seperti ini! Seharusnya kamu benci dia! Bukan malah membelanya! Aku yang anaknya saja, dia tidak peduli! Apalagi kamu!"

"Mungkin, kalau orang tuaku bukan Ibu dan Bapak, telah lama aku menyimpan dendam sama Uwak. Tapi, aku bersyukur karena Ibu dan bapak tidak pernah mengajarkanku untuk mendendam. Terlebih kepada keluarga sendiri. Aku juga tahu rasanya dibandingkan dan dihujat, teh. Tapi itu bukan berarti aku harus lemah, terus menyalahkan keadaan. Mungkin cobaan kita berbeda. Dan menganggap cobaan tetehlah yang terberat. Tapi di balik itu semua, seharusnya teteh tahu ada hikmah yang bisa dipetik."

"Kedepannya, teteh akan lebih selektif lagi memilih laki-laki. Tidak bermudah-mudahan dengan mereka."

Hening. Aku menunggu teh Diana untuk bicara. Namun, setelah menunggu, kudapati teh Diana kembali merebahkan kepalanya, dan menutup wajahngnya dengan bantal. Bahunya berguncang, lalu terdengar isakan tertahan.

Kuputuskan untuk tidak membawa teh Diana ikut serta.

0000

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now