Episode tiga

571 41 1
                                    

Aku mengenakan sepatu flat yang biasa kupakai untuk kuliah. Juga baju kemeja putih longgar, rok hitam lebar dan jilbab hitam yang juga lebar. Untuk pakaian, aku tidak mempersiapkan begitu banyak hal, apalagi sampai harus membeli pakaian baru. Tidak seperti beberapa teman-temanku yang kebetulan ikut dipanggil wawancara. Mereka sampai harus membeli satu setel baju dan juga sepatu. Bahkan ada yang sampai membeli tas segala.

Aku menyandang tas ke bahuku. Lalu keluar dari kamar. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sementara wawancara akan berlangsung pukul sepuluh pagi. Jadi aku masih punya waktu untuk menyantap sarapan yang dibuat Ibu.

Aku meletakkan tas di atas meja. Bapak sudah sejak tadi pergi bekerja. Sebagai seorang atasan, bapak termasuk disiplin soal waktu. Bapak tidak suka mengulur waktu kalau bukan karena hal yang mendesak. Jadi jangan pernah berharap jika aku akan menemukan Bapak masih duduk di meja makan sambil menyantap teh manis buatan Ibu. Tipikal pekerja keras yang akan kusimpan sebagai persyaratan untuk mencari calon suami nanti. Eh.

Ibu meletakkan sepiring nasi goreng yang masih panas. Ditambah segelas susu dan air putih. Aku sudah seperti putri raja saja yang dilayani. Kadang, Aku sudah sering meminta Ibu untuk tidak terlalu memanjakanku. Aku juga bisa sendiri mengurus keperluanku sendiri. Tapi, karena anak satu-satunya, dan Ibu tidak memiliki anak lagi yang harus dia urus, aku menerima saja perlakuan Ibu. Yah, hitung-hitung menikmati kasih sayang Ibu lebih lama lagi. Kalau nanti Aku menikah, kan sudah susah bermanja-manja sama Ibu.

Duh! Kok yang kepikiran masalah nikah melulu, sih?!

Lima belas menit berlalu, Aku menyelesaikan sarapanku. Setelah bersalaman dan pamit, aku membawa motorku membelah jalan. Udara pagi, masih terasa segar. Percikan sinar matahari menerpa jalanan yang masih padat oleh kendaraan. Untung lokasi tempatku wawancara tidak begitu jauh. Jadi, aku bisa lebih santai mengendarai motorku.

Gedung berlantai dua puluh menyambutku. Setelah meletakkan motor di area parkir, Aku membawa langkah memasuki gedung perkantoran. Di lobi, aku melihat beberapa orang yang mengenakan warna pakaian yang sama denganku. Bisa ditebak, mereka juga akan ikut tes wawancara sama seperti diriku. Aku mengambil posisi duduk yang masih kosong. Bersebelahan dengan salah satu pelamar yang juga seorang wanita. Kami saling melempar senyum.

"Interview juga, mbak?" Tanyanya. Bahkan aku belum sempat melepas tas di bahu.

"Iya. Mbak sendiri?"

"Sama. Kayaknya bakal banyak pesaing, nih." Ucapnya sembari memperhatikan beberapa orang yang memilih berdiri tak jauh dari kami duduk. Aku hanya mengulas senyum tipis.

"Saya sih, yakin aja diterima, mbak. Soalnya, saya dapat bocoran dari tetangga saya yang bekerja di sini. Perusahaan ini cuma butuh tiga posisi saja. Dan tetangga Saya itu sudah meminta bagian HRD untuk menerima saya." Ceritanya, membuatku melipat dahi. Entah apa maksud dia menceritakannya kepadaku, yang jelas aku tidak suka. Yah, walau nepotisme tidak akan pernah bisa dihapus dari dunia pekerjaan, tetap saja caranya salah. Bagaimana kalau yang mendengar adalah orang tipikal pesimis? Bukannya jadi pelecut, malah membuat mental mereka down.

Lagi-lagi Aku hanya mengulum senyum. Berharap segera dipanggil ke dalam ruangan untuk wawancara.

"Zaman sekarang, kalau gak punya orang dalam, susah, mbak. Apalagi yang masih bau kencur seperti kita ini. Kebanyakan perusahaan kan, nyari yang udah berpengalaman, biar gampang di kasih tahu." Imbuhnya. "Mbak tahu dari orang dalam juga ya, ada lowongan di sini?" Tanyanya.

Aku menggeleng. "Dari jobstreet sama linkedin." Jawabku santai, sekaligus bingung. Memangnya dari mana lagi para pelamar mendapatkan informasi soal lowongan pekerjaan jika bukan dari aplikasi pencari kerja? Oh, sebagian ada juga yang dari mulut ke mulut. Dari teman atau dosen misalnya.

Wanita di sebelahku tidak bertanya lagi. Syukurlah. Setidaknya aku bisa tenang. Tapiiii,

"Saya sih, berharap ingin lekas kerja aja, mbak. Gak usah melalui formalitas yang basa-basi begini. Sebenarnya makan waktu juga, kan, mana kita harus dikumpulkan bersama, diwawancara satu persatu, terus disuruh tunggu untuk pengumuman selanjutnya. Iya kalau diterima. Kalau nggak? Kan bikin sedih!"

Brrr. Ingin sekali Aku menoyor kepalaku dengan air dingin. Karena tidak ada air dingin, maka kulangitkan istighfar berkali-kali. Sebenarnya, wanita di sampingku ini, ngerti tahap-tahap dalam mencari kerja gak, sih? Kalau mau diikuti, semua orang pasti mau dong masukin lamaran terus langsung diberi pekerjaan. Tapi, apa iya, bisa seenak kita? Terus dari mana perusahaan tahu kesanggupan kita dalam bekerja jika bukan melalui wawancara? Iya kalau dapat karyawan yang pas sesuai kompetensi. Kalau nggak? Kan capek juga mengajari karyawan dari nol.

"Ohiya, sampai lupa kenalan segala. Saya Anggun." Dia menyodorkan tangan kanannya. Memperkenalkan diri.

"Rania." Jawabku.

"Semoga kita bisa satu tim nantinya, ya!" Jawabnya percaya diri. Aku hanya meringis.

Dari balik pintu, seorang wanita keluar dan memanggil kami semua untuk masuk ke dalam ruangan. Aku menelan ludah. Entah kenapa, pesimis pun mulai menyerangku. Mengingat, di antara mereka semua, hanya Aku yang berpenampilan agak beda.

Bismillah. Lahaulla wala kuataillabillahhh....

00000

Jika ada yang membuatku merasa terintimidasi, maka ini waktunya. Berhadapan dengan perempuan cantik, dengan aroma parfumnya yang menguar di udara, membuatku menelan ludah kasar. Wajahnya terlihat berkarisma menggambarkan sosok wanita berdedikasi tinggi. Senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya yang ditutupi oleh bedak dan lipstik yang berwarna pink muda, senada dengan warna baju yang dipakainya.

Matanya menari-nari membaca curiculum vitae milikku yang berada di layar komputer.

"Rania Rasyid, usia dua puluh dua tahun empat bulan." Lirihnya, lalu menatapku lekat. Aku menegakkan kepala, sembari membalas tatapannya. "Jika seandainya kamu diterima untuk bergabung di perusahaan ini, maka apakah kamu siap bekerja di bawah tekanan, dikejar deadline, hingga lembur karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan?"

"Saya siap." Jawabku yakin.

"Kenapa? Bukankah itu berarti kamu akan kehilangan waktu bersantaimu? Kamu tidak bisa lagi menikmati hari-hari bersama keluarga dan teman karena harus mementingkan pekerjaan terlebih dahulu?"

Aku menghela napas. "Bekerja di perusahaan ini adalah passion saya. Jadi saya akan mematuhi apa pun konsekuensinya." Jawabku mantap. Tidak menyangka jika pertanyaan selanjutnya menjadikan bumerang untukku.

Wanita cantik itu tersenyum. "Saya suka jawaban kamu. Oke, kamu akan menerima segala konsekuensinya. Apakah itu termasuk dengan mengubah penampilan hijabmu?" Tanyanya telak. Membuatku termangu sesaat. Aku memperbaiki posisi duduk.

"Maaf--"

"Apa kamu mau mengubah penampilan hijabmu, demi rasa loyalmu terhadap perusahaan?" Ulangnya. Dan kali ini, aku tidak bisa menjawab sesuai keinginannya. Loyal antara agama dengan loyal dengan perusahaan, itu jauh sekali berbeda. Oke, di sini Aku tidak mengkritik kebijakan perusahaan yang mengharuskan karyawannya berpenampilan menarik. Tapi dari kasusku, apakah sebegitu pentingnya mengurusi hijabku padahal posisi yang kulamar tidak mengharuskanku untuk perdin keluar kota atau bertemu para jajaran perusahaan. Aku hanya melamar dibagian perencanaan dan pengembangan, dan itupun posisi yang jauh sekali dari mengharuskanku bertemu banyak orang dari luar perusahaan.

Dari wawancara singkat ini, dapat kutarik kesimpulan, bahwa sehebat apa pun aku menyajikan curiculum vitae milikku, menjawab pertanyaan dengan lugas, tetap saja masalah terbesarnya ada pada hijab lebarku. Dan Aku dengan segala kerendahan hati tidak akan pernah mengubah gaya berhijabku meski hanya diminta memendekkannya sedikit saja.

Setelah berbasa-basi, Aku pamit dari hadapan perempuan itu. Satu panggilan wawancara gugur di depan mata bahkan saat baru menyentuh garis start.

Kuhempaskan udara yang tiba-tiba menyesak memenuhi rongga paru-paruku. Berjalan menuju lobi, aku melihat segerombolan wanita berpenampilan cantik sambil tertawa bersama. Tanpa sengaja aroma parfumnya tercium oleh hidungku bahkan saat jarak mereka sudah teramat jauh dariku.

Ah, bukankah Allah selalu bersama dengan hambanya yang teguh menjalankan syariat-Nya? Dan aku percaya, Allah selalu punya rencana terbaik untuk setiap hambanya.

00000

Phi

KITA ISTIMEWA DENGAN CARANYA MASING-MASING ( Selesai)Where stories live. Discover now